REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awal tahun baru tidak hanya merupakan momen yang penuh harapan, tetapi juga introspeksi dan refleksi. Berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun lalu hendaknya menjadi bahan perenungan untuk melangkah ke depan. Sekurang-kurangnya, janganlah mengulangi kesalahan yang sama seperti dahulu.
Dalam konteks sejarah dunia, awal Januari juga menjadi pengingat salah satu peristiwa tragis bagi kaum Muslimin, yakni runtuhnya peradaban Islam di Semenanjung Iberia. Saat berada di bawah pemerintahan (daulah) Muslim, daerah ujung barat daratan Eropa tersebut populer dengan nama al-Andalus atau Andalusia. Itu terdiri atas Spanyol, Portugal, dan Prancis selatan kini.
Tepat pada tanggal 2 Januari 1492 M, kerajaan Islam (taifa) Granada dapat dikuasai pasukan Katolik yang dipimpin raja Ferdinand II dari Aragon dan ratu Isabella I dari Kastila. Kekalahan itu tidak hanya berarti tamatnya riwayat taifa tersebut, melainkan juga senja kala peradaban Islam secara keseluruhan yang telah berkibar selama lebih dari 700 tahun di Benua Biru. Sejarah mencatat, kaum Muslimin mulai menguasai Iberia pada awal abad kedelapan.
Titik mula Andalusia terjadi persisnya pada 711 M. Kala itu, Thariq bin Ziyad sukses membebaskan Sidonia, Karmona, Kota Kordoba, dan Kota Granada dari kendali Roderick, sang penguasa Visigoth. Semua daerah dan kota di Iberia tersebut kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah.
Pada 750 M, gerakan revolusioner Abbasiyah menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus. Sejak saat itu, lahirlah kekhalifahan baru yang berpusat di Baghdad, Irak. Walaupun rezim Bani Abbas dengan gencar melakukan penyisiran terhadap sisa-sisa kekuatan musuhnya, tetap ada segelintir tokoh sentral Umayyah yang berhasil lolos.
Di antara para bangsawan Umayyah yang sukses menyelamatkan diri adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Begitu keluar dari Syam dan Mesir, ia berupaya sampai ke Maghribiyah untuk mengumpulkan pengikut. Selanjutnya, disusunnya rencana untuk merebut Andalusia. Waktu itu, usianya masih 22 tahun.
Ad-Dakhil ternyata dapat mengeksekusi taktik politik dan militernya dengan amat baik. Dengan kekuasaan di tangan, ia merintis tegaknya pemerintahan Umayyah di Andalusia. Sekitar 150 tahun sesudah kematiannya, anak keturunannya mendeklarasikan kekhalifahan baru di Kordoba dengan tujuan menyaingi Baghdad (Abbasiyah) dan Kairo (Fathimiyah).
View this post on Instagram
Seorang sarjana Prancis, Gustve Le Bon (1841-1931), mengomentari kekhalifahan Islam di Hispania pada masa itu. Seperti dinukil Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013), ia mengatakan, “Begitu orang-orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Dalam waktu kurang dari satu abad, mereka mampu menghidupkan tanah yang mati, membangun kota-kota yang runtuh, mendirikan bangunan-bangunan megah, dan menjalin hubungan perdagangan yang kuat dengan negara-negara lain.”