REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pelaksanaan Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 9-10 Desember 2025, dinamika internal makin menghangat. Dua pernyataan resmi dari kubu Syuriyah dan Tanfidziyah pun saling beradu mengenai legalitas pleno serta posisi ketua umum PBNU.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU KH Imron Rosyadi Hamid (Gus Imron) menegaskan surat Penegasan Rapat Pleno PBNU bertanggal 3 Desember 2025 yang ditandatangani KH Yahya Cholil Staquf dan Amin Said Husni tidak memiliki kekuatan hukum. Menurutnya, dokumen tersebut cacat secara moral dan material.
“Dalam tradisi NU, tidak pernah ada pengurus Tanfidziyah mengatur atau bahkan mengingatkan Rais Aam sebagai pemimpin tertinggi jamiyyah,” ujar Gus Imron dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (6/12/2025).
Ia menekankan bahwa berdasarkan Anggaran Dasar NU, Tanfidziyah bertugas melaksanakan kebijakan Syuriyah, bukan sebaliknya.
Ia juga menyebut penandatanganan surat itu bermasalah secara material, sebab KH Yahya Cholil Staquf dinilai tidak lagi menjabat ketua umum sejak keputusan Rapat Syuriyah PBNU yang berlaku 26 November 2025. Sementara, Amin Said Husni disebut belum sah menyandang posisi Sekjen karena belum memiliki SK.
Bahkan, menurutnya, penerbitan surat itu dimungkinkan karena adanya otorisasi dari Super Admin aplikasi Digdaya Persuratan, meski Rais Aam PBNU sebelumnya telah memerintahkan penangguhan penggunaannya pada 29 November 2025.
“Di sini kelihatan sekali bahwa ormas Islam terbesar di dunia ini telah dibajak oleh pengembang aplikasi yang seharusnya berada pada level pelayanan administrasi,” ucapnya.
Terkait Rapat Pleno PBNU yang diundang langsung oleh Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Gus Imron menegaskan surat undangan tersebut sepenuhnya sah berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
“Surat itu sepenuhnya sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Pimpinan tertinggi NU adalah Syuriyah,” katanya.
Lihat postingan ini di Instagram




