REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isu pemakzulan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kian ramai diperbincangkan di tengah publik Nahdliyin. Gelombang kritik muncul dari berbagai arah, salah satunya dari tokoh muda Nahdlatul Ulama sekaligus akademisi Universitas Monash, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), yang menilai kondisi organisasi sedang berada dalam titik terendah.
Dalam tulisan berjudul “Matinya Roda Jam'iyyah Kami”, Gus Nadir menggambarkan situasi internal PBNU sebagai “mesin organisasi yang mati dan dibiarkan karatan”. Menurutnya, relasi antar-pimpinan PBNU tengah mengalami keretakan serius sehingga roda kepemimpinan tak berjalan sebagaimana mestinya.
“Jam'iyyah ini sedang berjalan terbalik. Ketua umum berkonflik dengan sekjen dan bendum. Ketua umum juga tidak akur dengan Rais ‘Am. Sementara Rais 'Am sendiri tidak sreg dengan Katib 'Am (yang kebetulan masih keluarga dekat Ketum),” tulisnya di akun X, dikonfirmasi Republika, Ahad (23/11/2025).
Akhirnya, lanjutnya, surat resmi Syuriyah hanya ditandatangani Rais 'Am. Surat Tanfidziyah hanya diteken ketum. Padahal aturan mengharuskan empat tanda tangan: Rais Aam, Katib Aam, Ketum, dan Sekjen.
"Ini bukan lagi soal organisasi yang macet. Ini soal mesin yang mati dan dibiarkan karatan selama berbulan-bulan. Masing-masing kubu berjalan sendiri," katanya.
Gus Nadir menilai perpecahan internal ini membuat jamaah Nahdliyin kehilangan arah karena tidak mendapatkan bimbingan yang utuh dari kepengurusan pusat. “Jamaah Nahdliyin bergerak tanpa arahan, tanpa bimbingan, tanpa kepemimpinan PBNU. Roda terkunci mati,” jelasnya.




