Kamis 20 Nov 2025 14:54 WIB

Buka Ijtimak Ulama Tafsir Alquran, Menag Dorong Pendekatan Tafsir Berwawasan Keindonesiaan

Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an menjadi hajat bersama sejumlah instansi.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Menteri Agama (Menag) KH Nasaruddin Umar di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (10/11/2025).
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Menteri Agama (Menag) KH Nasaruddin Umar di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (10/11/2025).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Agama (Menang) RI, Prof Nasaruddin Umar hari ini membuka Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an di Jakarta, Rabu (19/11/2025). Ia berharap forum ulama ini dapat mendorong pendekatan tafsir induktif dan berwawasan keindonesiaan.

Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an menjadi hajat bersama Ditjen Bimas Islam, Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM (BMBPSDM), serta Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama.

Baca Juga

Ijtimak ini mengangkat tema besar tentang toleransi dan cinta kemanusiaan. Menurut Nasaruddin, dua nilai ini semakin mendesak di tengah situasi sosial yang dipengaruhi oleh era post-truth.

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta ini juga menggarisbawahi bahwa tantangan era post-truth menuntut pembaruan metodologi tafsir agar tetap relevan menjawab kompleksitas zaman. 

“Dulu kebenaran mudah dirujuk, apa kata Alquran, apa kata Alkitab, atau apa kata ulama. Namun kini, kekuatan media dan politik dapat menenggelamkan kebenaran sejati,” ujar Nasaruddin dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (20/11/2025).

Lebih lanjut, Rektor PTIQ Jakarta ini mengkritik kecenderungan metode deduktif dalam penafsiran (dari langit ke bumi). Sebaliknya, Nasaruddin mendorong penggunaan pendekatan induktif (dari bumi ke langit). Pendekatan ini mengedepankan upaya membaca realitas sosial terlebih dahulu sebelum dikonfirmasi pada teks suci.

“Alquran dimulai dengan Iqra’ bismi rabbik. Iqra’ itu induktif, bismi rabbik itu deduktif. Keduanya harus dipadukan,” jelasnya.

Ia pun menekankan pentingnya kolaborasi antara rasio dan rasa dalam memahami ayat-ayat Alquran. Ada ayat yang dijelaskan melalui konsentrasi intelektual, tetapi ada pula yang hanya dapat dipahami melalui kontemplasi.

“Perkawinan rasio dan rasa itulah yang akan melahirkan tafsir yang membumi dan menyentuh dimensi batin manusia,” ucapnya.

Nasaruddin menegaskan bahwa karya tafsir yang disusun Kemenag harus menjadi tafsir negara dan tafsir Indonesia. Yaitu, tafsir yang mengintegrasikan antropologi, budaya, dan konteks keindonesiaan.

“Setiap bangsa memiliki culture right dalam memahami Alquran, dan itu diakui dalam tradisi tafsir. Karena itu, kita perlu memasukkan perspektif budaya dan sosiologi dalam penyusunan tafsir,” katanya.

Ia berharap Ijtimak Ulama Tafsir dapat melahirkan pandangan yang mencerahkan dan kritik konstruktif, sehingga tafsir yang dihasilkan semakin memantulkan wajah Islam yang penuh kasih.

Forum Ijtimak ini menjadi ruang strategis bagi ulama, akademisi, dan pemerhati tafsir untuk membahas penyempurnaan tiga juz tafsir Alquran yang telah diselesaikan Kemenag, sekaligus menggelar uji publik atas tafsir tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement