REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Pakar urusan militer, Nadav Shragai mengatakan perjanjian dengan Hamas mungkin merupakan kejahatan yang tak bisa dielakkan, tetapi siapa pun yang setuju untuk membebaskan 250 pembunuh massal yang meninggalkan jejak darah dan kesedihan tidak memiliki hak untuk berbicara tentang kemenangan penuh.
Analis dan penulis Israel untuk surat kabar Israel Hayom itu mengatakan apa yang terjadi bukanlah kemenangan, melainkan pemerasan dari para teroris dan menyerah pada tuntutan mereka, bahkan jika tujuannya mulia.
Dilansir dari Aljazeera, Kamis (9/10/2025), dia menyebut beberapa pihak akan memuji perjanjian ini sebagai sebuah pencapaian besar, sementara yang lain akan menyoroti banyak kekurangannya.
Tetapi yang jelas, menurut dia, perjanjian ini sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai sebuah kemenangan, melainkan sebaliknya, sebuah penghinaan terhadap Israel.
“Kesepakatan itu mencakup pembebasan teroris yang diketahui dan sangat berbahaya,” katanya.
Dia memilih Abbas al-Sayyed, yang dijatuhi 35 hukuman seumur hidup karena mendalangi pengeboman Paskah pada 2002 di Hotel Park menewaskan 30 orang dan melukai 160 orang dan Hassan Salameh, yang dijatuhi 46 hukuman seumur hidup karena membunuh puluhan warga Israel.
Perjanjian ini juga mencakup pembebasan tokoh-tokoh simbolis seperti Marwan Barghouti, yang menjalani lima hukuman seumur hidup, dan Ahmed Saadat, yang dianggap sebagai dalang di balik pembunuhan menteri Israel Rehavam Ze'evi.
Shragai menunjukkan pembebasan orang-orang ini mempertaruhkan nyawa warga Israel, karena lebih dari 85 persen "teroris" yang dibebaskan dalam beberapa dekade terakhir telah kembali melakukan terorisme. Dia memperingatkan bahwa pembebasan mereka saat ini sama saja dengan melepaskan bom waktu.
"I am very proud to announce that Israel and Hamas have both signed off on the first Phase of our Peace Plan... BLESSED ARE THE PEACEMAKERS!" - President Donald J. Trump pic.twitter.com/lAUxi1UPYh
— The White House (@WhiteHouse) October 8, 2025