Kamis 02 Oct 2025 13:19 WIB

Simbiosis Ulama dan Penguasa dalam Sejarah Nusantara Menurut Sejarawan Barat

Ulama juga disarankan oleh hadits untuk menjaga jarak dari penguasa.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Makam Sunan Giri di Gresik tempo dulu.
Foto: troppen musseum
Makam Sunan Giri di Gresik tempo dulu.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bukti pertama Islamisasi di Asia Tenggara ditunjukkan dengan keberadaan penguasa Muslim. Namun, mereka hanyalah salah satu sumber otoritas dalam masyarakat Islam. Di samping penguasa Muslim, ada ulama yang selalu memainkan peran kepemimpinan. 

Ulama adalah otoritas yang diakui dalam praktik keagamaan, sementara penguasa adalah penegak norma-norma Islam. Simbiosis ini tercermin dalam banyak kota di kepulauan Nusantara, misalnya masjid utama sering kali berdekatan dengan kompleks istana atau pusat pemerintahan.

Baca Juga

Memang banyak penguasa sering berusaha mencari legitimasi Islam untuk tindakan mereka dan menarik ulama ke istana mereka, demikian menurut sejarawan Barat, Michael Francis Laffan dalam buku Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below The Wind. 

Dengan pengakuan Islam sebagai agama negara, ulama muncul sebagai elit dalam masyarakat kepulauan di Asia Tenggara. Para ulama sering diberi wewenang untuk mengeluarkan perintah agama dan bahkan kebijakan langsung, seperti yang dilakukan oleh Nuruddin al-Raniri (w. 1656) saat berada di Aceh pada 1637 di bawah perlindungan Sultan Iskandar II (1636-41)

Kekuasaan mereka yang meluas juga ditunjukkan oleh fakta bahwa di Jawa sepuluh tahun kemudian, penerus Sultan Agung, Amangkurat I (1646–77), merasa terpaksa untuk membantai sejumlah besar ulama dan keluarga mereka guna mempertahankan kendali atas kerajaannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement