Ahad 14 Sep 2025 23:59 WIB

MUI akan Tindaklanjuti Permintaan Fatwa Penghasilan Rangkap Jabatan Menteri dan Wamen

Setiap permintaan fatwa dari masyarakat akan dikaji dan akan diputuskan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Logo MUI
Foto: kemenag.go.id
Logo MUI

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menindaklanjuti permintaan fatwa dari Center of Economic and Law Studies (Celios) terkait penghasilan menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. 

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis menyampaikan bahwa MUI menyambut baik adanya permintaan fatwa tersebut. 

Baca Juga

Kiai Cholil mengatakan, setiap permintaan fatwa dari masyarakat atau pihak yang disebut sebagai mustafti akan selalu ditindaklanjuti melalui mekanisme kajian mendalam di internal MUI. 

"Ya terimakasih (Celios) telah meminta fatwa kepada MUI, setiap permintaan fatwa dari masyarakat akan dikaji dan akan diputuskan," kata Kiai Cholil, dikutip dari laman MUI Digital, Ahad (14/9/2025)

Ia menegaskan bahwa permintaan fatwa tersebut sangat baik demi menjaga setiap penghasilan yang didapat dipastikan kehalalannya.

Kiai Cholil mengungkapkan, surat permohonan fatwa dari Celios akan diteruskan kepada Komisi Fatwa MUI. 

Kiai Cholil menjelaskan bahwa Komisi Fatwa MUI mempunyai kewenangan untuk mengkaji persoalan hukum Islam terkait praktik rangkap jabatan sekaligus penerimaan gaji atau honorarium dari jabatan ganda tersebut. 

"Fatwa yang dikeluarkan nantinya tidak hanya menjadi panduan bagi pejabat negara yang bersangkutan. Tetapi juga berfungsi sebagai rambu moral bagi umat Islam secara umum dalam menjaga prinsip keadilan, transparansi, dan amanah dalam pengelolaan keuangan," ujarnya.

Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengajukan permohonan fatwa kepada Komisi Fatwa MUI terkait masalah hukum penghasilan pejabat negara yang saat ini sedang menjadi perhatian publik. Sehubungan dengan itu, Celios mengajukan permohonan fatwa kepada Komisi Fatwa MUI terkait masalah hukum penghasilan pejabat negara yang saat ini sedang menjadi perhatian publik.

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, mengatakan, sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 128/PUU- XXIII/2025 telah memutuskan bahwa menteri maupun wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun hingga saat ini, larangan tersebut belum dijalankan oleh pemerintah, dan tidak ada menteri maupun wakil menteri yang mengundurkan diri dari jabatan komisaris tersebut.

"Putusan Mahkamah Konstitusi jelas melarang rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Namun, hingga kini larangan itu belum dijalankan, kami meminta Fatwa MUI agar umat Islam, khususnya pejabat negara, dapat menempatkan amanah publik di atas kepentingan pribadi," kata Wahyudi kepada Republika, Rabu (10/9/2025)

Ia mengatakan, ketika pejabat negara masih menerima penghasilan dari jabatan yang sudah jelas dilarang, ada pertanyaan soal etis yang harus dijawab. Karena itu, Celios meminta Fatwa MUI agar ada panduan syariah yang menegaskan bagaimana seorang pejabat seharusnya bersikap.

Ia menegaskan, isu rangkap jabatan ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral pejabat negara. MK telah menjalankan tugasnya menjalankan konstitusi. 

"Tokoh agama juga bisa terlibat untuk menjaga etika pejabat negara," ujar Wahyudi.

Dalam surat Celios kepada MUI perihal Permohonan Fatwa tentang Hukum Penghasilan Menteri/ Wamen yang Rangkap Jabatan Komisaris. Celios memohon penjelasan dan fatwa dari MUI mengenai hal berikut:

Pertama, bagaimana hukum penghasilan atau honorarium yang diterima oleh Menteri dan Wakil Menteri dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN, mengingat larangan tersebut telah diputuskan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi?

Kedua, apakah penghasilan tersebut dinilai halal, syubhat, atau haram menurut syariat Islam?

Ketiga, bagaimana sebaiknya umat Islam, khususnya pejabat negara, menyikapi hal ini agar selaras dengan prinsip keadilan, amanah, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement