REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (Celios) mengajukan permohonan fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai penghasilan pejabat negara yang belakangan ini menuai atensi publik. Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan Nomor 128/PUU- XXIII/2025.
Isinya menegaskan, menteri atau wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di suatu badan usaha milik negara (BUMN). Namun hingga saat ini, lanjut Media Wahyudi, larangan tersebut belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah. Dalam arti, belum ada menteri maupun wakil menteri yang mengundurkan diri dari jabatan komisaris BUMN.
"Putusan MK jelas melarang rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Namun, hingga kini larangan itu belum dijalankan. Kami meminta Fatwa MUI agar umat Islam, khususnya pejabat negara, dapat menempatkan amanah publik di atas kepentingan pribadi," kata Wahyudi kepada Republika, Rabu (10/9/2025).
Menurut dia, isu rangkap jabatan tidak sekadar mengenai hal administrasi, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral pejabat negara. Dalam hal ini, Wahyudi mengatakan, MK telah menjalankan tugasnya.
"Tokoh agama juga bisa terlibat untuk menjaga etika pejabat negara," ujar Wahyudi.
Dalam suratnya yang ditujukan kepada MUI, Celios memohon penjelasan dan fatwa dari lembaga keislaman itu mengenai hal berikut.
Pertama, bagaimana hukum penghasilan atau honorarium yang diterima oleh Menteri dan Wakil Menteri dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN, mengingat larangan tersebut telah diputuskan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi?
Kedua, apakah penghasilan tersebut dinilai halal, syubhat, atau haram menurut syariat Islam?
Ketiga, bagaimana sebaiknya umat Islam, khususnya pejabat negara, menyikapi hal ini agar selaras dengan prinsip keadilan, amanah, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara?