Selasa 26 Aug 2025 15:46 WIB

MUI Dukung KPI Awasi Medsos, bukan Hanya TV-Radio

Perluasan kewenangan KPI dinilai perlu untuk awasi konten-konten di medsos.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Media sosial. (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Media sosial. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar tidak hanya mengawasi siaran televisi dan radio. KPI pun dinilainya mampu tetapi mengawasi konten-konten di internet, termasuk media digital dan media sosial (medsos).

Hal itu disampaikan Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi KH Masduki Baidlowi. Menurutnya, perluasan kewenangan KPI perlu dilakukan karena negara mesti mengatur penggunaan media sosial. Terlebih lagi, perubahan di masyarakat terjadi pesat dalam sistem komunikasi.

Baca Juga

Selain itu, televisi dan radio pada masa kini sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan masyarakat. Mereka umumnya beralih ke media sosial atau media multi-platform yang menggunakan jaringan internet.

"Saya kira, televisi sudah ditinggalkan masyarakat, sebagai industri sunset. Artinya, surut, seperti matahari tenggelam. Orang sudah bermedsos dan berinternet semua," kata Kiai Masduki usai mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Ruang Komisi I DPR RI, kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/8/2025).

Komisi I DPR RI mengundang MUI dalam RDPU membahas mengenai Revisi Undang-Undang Penyiaran. Selain MUI, forum ini juga menghadirkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (KNPT).

Kiai Masduki mengingatkan, media sosial, apabila tidak diatur, akan sangat berbahaya. Di antara pelbagai ekses media sosial ialah fenomena echo chamber dan confirmation bias yang berbasis algoritma.

"Hal ini bisa memperkuat radikalisme, polarisasi dan intoleransi bersentimen agama, dan ekstremisme digital. Ini harus jadi atensi pencegahan melalui UU Penyiaran baru," ujarnya.

Dalam jagat medsos, penggunaan algoritma untuk menampilkan konten-konten kepada pengguna cenderung mengumpulkan informasi yang subjektif. Dalam arti, itu menurut pada kecenderungan dan keseringan si pengguna dalam bermedia sosial.

Ini berpeluang bahaya bila si pengguna medsos meyakini suatu informasi secara sepihak dan tanpa kroscek. Informasi yang bias ini pun terakumulasi antara satu kelompok yang terus bergema sehingga dipercaya sebagai "kebenaran."

"Ada banyak contoh-contoh yang berbahayanya. Misalnya, ISIS mengader banyak orang dengan sistem ini yang akhirnya menimbulkan pemahaman radikal," jelasnya.

Selain perluasan kewenangan KPI, MUI pun mengusulkan adanya semacam dewan etika atau konsultan syariah di lembaga penyiaran dan platform digital. Ini untuk memfilter konten-konten keagamaan.

"Fatwa-fatwa MUI, khususnya yang terkait Pedoman Bermuamalah di Media Sosial dan pornografi dapat menjadi landasan etik dalam perumusan pasal-pasal UU Penyiaran," kata Kiai Masduki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement