Selasa 15 Jul 2025 20:04 WIB

Pakar Israel: Haruskah Harga Mahal Ini yang Mesti Dibayar untuk Kuasai Bangsa yang Terkepung?

Tentara Israel terus bertumbangan di Gaza Utara.

Warga Palestina membawa karung berisi makanan dan bantuan kemanusiaan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Rabu, 11 Juni 2025.
Foto: AP Photo/Abdel Kareem Hana
Warga Palestina membawa karung berisi makanan dan bantuan kemanusiaan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Rabu, 11 Juni 2025.

REPUBLIKA.CO.ID,  TEL AVIV— Penulis Israel Michael Milstein mengkritik apa yang dia gambarkan sebagai "fantasi Israel yang berulang-ulang" di Jalur Gaza.

Dia memperingatkan Jalur Gaza telah menjadi arena eksperimen keamanan dan politik yang ditakdirkan untuk gagal, diulang dan diulang tanpa tinjauan nyata atau belajar dari kesalahan masa lalu.

Baca Juga

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh situs web Ynet dari surat kabar Ibrani Yedioth Ahronoth, dikutip Aljazeera, Selasa (15/7/2025), Milstein mengatakan apa yang disebut oleh pemerintah Israel sebagai kota kemanusiaan, yang akan didirikan antara Khan Yunis dan Rafah tidak lain adalah versi baru dari proyek-proyek yang telah gagal sebelumnya.

Ini seperti mempersenjatai kelompok-kelompok lokal sebagai alternatif dari Hamas atau menciptakan daerah-daerah kantong yang aman di Jalur Gaza.

Dia menambahkan bahwa semua proyek ini didasarkan pada premis yang menyesatkan bahwa kesadaran Palestina dapat diubah dengan paksaan dan tekanan ekonomi.

Dia mencatat bahwa ide-ide ini diulang-ulang meskipun gagal, seperti halnya dengan "rencana para jenderal" yang diluncurkan sebelum gencatan senjata Gaza Utara, tetapi dengan cepat runtuh meskipun ada momentum militer yang menyertainya.

Penulis berpendapat bahwa pendekatan ini tidak berbeda dengan "bencana 7 Oktober", di mana Israel percaya bahwa ideologi dapat dikalahkan dengan roti.

Milstein mengkritik keras para pengambil keputusan di Tel Aviv karena mengabaikan pelajaran yang dipetik dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, seperti mendukung "ikatan desa" di Tepi Barat atau aliansi yang gagal di Libanon, dan menunjukkan bahwa mengadopsi model-model Amerika untuk mengubah realitas dengan kekuatan dan uang - seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan - telah terbukti gagal, dan kini diterapkan kembali di Gaza.

Dia juga memperingatkan adanya duplikasi wacana di dalam Israel, di mana beberapa pihak menyerukan penyelesaian parsial, sementara pihak lain berusaha untuk menduduki seluruh Jalur Gaza karena motif agama yang tidak ada hubungannya dengan logika keamanan, yang memperdalam kebuntuan strategis.

Dalam artikelnya, penulis mengajukan serangkaian pertanyaan yang ia gambarkan sebagai pertanyaan yang tidak terjawab dalam debat publik, termasuk: Apa saja perbatasan Israel? Apa hubungannya dengan Palestina? Apa harga yang harus dibayar untuk menguasai sebuah bangsa yang terkepung?

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement