REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memperoleh kesempatan berhaji adalah hal yang patut disyukuri. Banyak orang yang telah mendaftarkan diri untuk beribadah haji tetapi harus menunggu dalam daftar antre cukup panjang dan setelah beberapa tahun baru bisa berangkat.
Ada juga yang telah memiliki kemampuan untuk berhaji, tetapi masih belum berencana melaksanakannya. "Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali Imran [3]: 97).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, yang artinya, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah SWT." (QS al-Baqarah [2]: 196).
Ayat tersebut, selain berisi perintah kepada kita untuk berhaji secara ikhlas karena Allah SWT, juga perintah untuk menyempurnakannya. Untuk itu, diperlukan pemahaman manasik haji secara benar sesuai syariat.
Ada dua kriteria amal yang harus diperhatikan agar diterima Allah SWT.
Pertama, amal dilakukan dengan ikhlas, semata mengha rap ridha-Nya. Kedua, amal dilakukan dengan benar sesuai tuntunan syariat. Dua hal di atas bersifat mutlak, harus dipenuhi ke duanya. Jika hanya satu yang dipenuhi, menjadikan amal tidak berarti di sisi-Nya.
Ibadah haji harus dilakukan secara ikhlas semata-mata mencari ridha Allah SWT dan untuk ber-taqarrubkepada-Nya. Ibadah ini tidak didorong oleh motivasi yang lain, seperti mendapatkan sanjungan dari orang, mencari popularitas, berbangga diri atau sekadar ikutan karena tetangga, rekan kerja, dan kerabat telah berhaji.
Kita harus memahami dengan baik dan benar tata cara pelaksanaan ibadah haji sesuai tuntunan syariat. Lebih baik lagi jika bisa mengerti makna yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji.
Berbagai macam makna simbolis yang terkandung dalam pakaian ihram, tawaf mengelilingi Ka'bah, sa'i antara Bukit Safa dan Bukit Marwah, wukuf di Padang Arafah, melempar jumrah, harus dipelajari dan dimengerti. Dengan demikian, ibadah haji dapat dilakukan dengan penuh penghayatan secara mendalam, bukan sekadar gerak fisik ritual tanpa makna.
