REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Muhammad SAW pernah berdoa, "Ya Allah, hindarkanlah dariku kekafiran dan kemiskinan."
Para sahabat yang mendengar munajat itu pun bertanya, "Apakah keduanya setara, ya Rasulullah?"
"Ya, sama."
Cerita di atas menunjukkan, seorang Muslim hendaknya takut menjadi miskin, seperti halnya takut menjadi kafir. Rasulullah SAW telah memberikan peringatan, "Hampir-hampir kemiskinan ini menjadi sebab kekafiran."
Nasihat seorang salaf menyebutkan, "Apabila kemiskinan melanda suatu daerah, maka kekafiran berkata kepadanya: 'Ajaklah aku bersamamu'."
Mengatasi kemiskinan dapat dilakukan dengan bekerja. Itu bahkan bisa setara nilainya dengan jihad fii sabilillah. "Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat" (QS al Muzzamil: 20).
Namun, bila ternyata sudah bekerja keras, membanting tulang masih miskin, Islam menyodorkan terapi kedua, yaitu hendaknya kerabat dekatnya yang lebih berkecukupan memberikan bantuan.
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kaum kerabat" (QS An Nahl: 90).
View this post on Instagram
Pemecahan berikutnya yang diberikan Islam adalah adanya kewajiban zakat bagi mereka yang mempunyai harta melebihi nishab. Ada hak bagi kaum fakir atas sebagian harta kerabatnya yang kaya. Islam menentukan zakat sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar.
Khalifah Abu Bakar pernah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakatnya. Beliau bersabda, "Demi Allah, aku pasti memerangi orang yang memisahkan shalat dengan zakat."
Sesungguhnya harta itu semuanya milik Allah, dan ada sebagian yang dititipkan kepada orang kaya. Maka, bagi yang dititipkan ada kewajiban untuk mengeluarkannya. Zakat bukan kemurahan orang kaya.