REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski sudah lima puluh tahun perang di Lebanon berkecamuk, warga negara tersebut tak patah semangat untuk terus melakukan perlawanan. Mereka akan terus melawan entitas penjajahan yang mengancam kemerdekaan di tanah tersebut.
Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam menegaskan bahwa pemerintahnya berupaya secara diplomatis untuk membebaskan wilayah yang diduduki di Lebanon selatan dari pendudukan Israel.
Sikap Salam ini disampaikannya saat menghadiri peringatan lima puluh tahun Perang Lebanon (13 April 1975) dengan mengheningkan cipta selama satu menit di pusat kota Beirut, Minggu, saat ia meletakkan karangan bunga di Monumen Para Syuhada, dan menegaskan kembali penekanannya bahwa pasukan pendudukan tidak perlu lagi berada di titik-titik pendudukan di Lebanon selatan karena titik-titik tersebut "tidak memiliki kepentingan strategis atau militer", mengingat adanya pengawasan udara yang terus dilakukan melalui satelit dan pesawat tanpa awak.
Terkait kunjungannya ke Suriah besok, Senin, Salam mengatakan, "Saya berharap dapat kembali dengan membawa kabar baik tentang mereka yang hilang di Suriah."
Ia menambahkan, "Peringatan hari jadi ini mengajarkan kita, dan kita belajar darinya, untuk tidak mengulangi apa yang telah dialami rakyat kita," dan "Sudah saatnya membangun negara kita dan mempercayainya. Inilah yang dituntut dari kita, rakyat yang bertanggung jawab atas negara ini."
Pada peringatan perang tersebut, Salam menyerukan kepada rakyat Lebanon untuk "bersatu dan memulihkan kepercayaan untuk membangun negara yang mampu melindungi Lebanon melalui militernya," dan menekankan perlunya "mengingat perang Lebanon untuk belajar dari pengalamannya."