REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap akhir Ramadhan, sebagian masyarakat Indonesia melakukan ritual tahunan pulang kampung (mudik). Ritual tersebut sangat kolosal karena dalam tempo bersamaan jutaan masyarakat Indonesia pulang kampung menuju tanah kelahirannya.
Ritual tersebut telah menyita energi dan sumber daya yang sangat besar. Pemerintah menggelontorkan anggaran triliunan rupiah membangun sarana dan prasarana moda transportasi, jalan, pelabuhan, dan bandara agar masyarakat bisa lancar pulang kampung.
Berbagai kementerian dan lembaga terlibat menangani ritual tahunan tersebut. Rekayasa lalu lintas (traffic engineering) dipersiapkan untuk mengantisipasi kemacetan agar pelaksanaan pulang kampung berjalan lancar.
Kebijakan cuti bersama dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat agar bisa pulang kampung dengan tenang. Berbagai perusahan, lembaga, dan ormas melakukan kegiatan pulang kampung bersama. Sedemikian hebatnya persiapan pulang kampung. Bagi yang akan menggunakan moda transportasi umum (pesawat, kereta, kapal laut, dan bus) telah memesan tiket beberapa bulan sebelumnya agar kebagian tiket.
Bagi yang akan menggunakan kendaraan pribadi telah melakukan persiapan dengan menyervisnya agar perjalanan tidak mengalami kendala, oleh-oleh dan berbagai perbekalan lainnya dipersiapkan dengan baik. Secara sosial kultural "pulang kampung" ada legitimasinya. Pepatah mengatakan, "Sejauh-jauh kita merantau pasti kita ingat dan pulang ke kampung halaman." Pepatah lain menyatakan, "Kacang jangan lupa akan kulitnya."
View this post on Instagram
Pepatah itu mengingatkan, di manapun kita berada dan sehebat apa pun prestasi kita, tetap ingat akan kampung halaman. Dengan demikian, pulang kampung merupakan peristiwa yang alamiah (fitrah).