Ahad 23 Mar 2025 14:55 WIB

Bolehkah I’tikaf di Rumah? Ini Pendapat Syekh Abdul Azis bin Fathi

I'tikaf hendaknya dilakukan di masjid jami yakni yang selenggarakan shalat Jumat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Itikaf
Foto: Dok Republika
ILUSTRASI Itikaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara bahasa, i’tikaf berarti menetap atau berdiam diri. I’tikaf hukumnya sunnah dan waktunya boleh dilakukan kapan saja. Namun, waktu i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan lebih utama karena terdapat Lailatul Qadar.

Nabi SAW bersabda, “Carilah Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga

Namun, yang selalu menjadi pertanyaan, bolehkah i’tikaf di rumah? Dalam kitabnya yang berjudul Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada menjelaskan tidak sah seseorang beri’tikaf di rumahnya. Bahkan, hendaknya dilakukan di masjid jami (masjid raya/masjid besar) sehingga tidak perlu keluar untuk melaksanakan shalat Jumat.

Bagaimana jika i’tikaf dilakukan di dalam tenda di masjid? Menurut Syekh Sayyid Nada, i’tikaf di dalam tenda atau kubah akan membantu orang beri’tikaf untuk berkhalwat dengan Rabb-nya, bersendiri, dan tidak menyia-nyiakan waktu berbicara dengan orang lain. Hal itu, kata dia, dilakukan Rasulullah SAW.

Dari Aisyah ra, dia berkata, ‘’Rasulullah jika ingin beri’tikaf, beliau mengerjakan sholat fajar, kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. Suatu kali beliau ingin beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadahan, lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar didirikan kemah maka dipancangkanlahnya.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Ulama tafsir Alquran asal Indonesia, KH M Quraish Shihab juga mengungkapkan bahwa i’tikaf atau berdiam beberapa saat di masjid adalah anjuran agama. Menurut dia, Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

“Syaratnya harus di masjid. Batas minimalnya, dalam mazhab Malik, sehari semalam dengan syarat berpuasa,” jelas M Quraish dikutip dari buku M Quraish Shihab Menjawab terbitan Lentera Hati.

Sedangkan Mazhab Syafi’i membolehkan i’tikaf kapan saja walau hanya beberapa menut, asal tidak seperti halnya waktu thuma’ninah dalam rukuk atau sujud.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Keutamaan i'tikaf

Dalam karyanya, Fath al-Qarib al-Mujib, Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazi menjelaskan, i’tikaf berarti berdiam diri di masjid dengan sifat tertentu. I’tikaf hukumnya sunnah dan waktunya boleh dilakukan kapan saja.

Namun, menurut Syaikh al-Ghazi, melakukan i’tikaf di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan lebih utama dibandingkan waktu lainnya. Karena, pada 10 hari terahir Ramadhan terdapat malam yang begitu mulia, yaitu Lailatul Qadar.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Carilah Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement