Kamis 06 Mar 2025 13:15 WIB

Perkara yang Memicu Kegelisahan Imam Ghazali di Puncak Karier

Krisis spiritual dan intelektual yang dialaminya itu terekam dalam sebuah karyanya.

Imam Al Ghazali
Foto: youtube
Imam Al Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali merupakan seorang teolog besar dalam sejarah peradaban Islam. Imam al-Ghazali berasal dari bangsa Persia. Dia dijuluki sebagai Hujjatul Islam lantaran membela akidah agama ini.

Di Baghdad, ulama kelahiran tahun 1058 itu mencapai puncak kariernya selaku akademisi di ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad. Namun kemudian, ia sempat mengalami krisis yang benar-benar mengguncang dirinya.

Baca Juga

Itu terjadi saat dirinya sudah empat tahun memimpin kampus terbaik di Baghdad---bahkan dunia saat itu---yakni Akademi Nizhamiyah. Suatu ketika, Imam Ghazali merenungi perjalanan hidupnya sejauh ini, terutama setelah mempelajari teologi (ilmu kalam) sejak dari al-Juwaini. Ilmu kalam membahas berbagai aliran yang kadang kala satu sama lain saling berkontradiksi.

Ghazali mulai merasa, sudah tiba waktu baginya untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dia meyakini, pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera tak dapat dipercaya. Sebab, kelima indra itu dapat salah. Pada awalnya, Ghazali meletakkan kepercayaan pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal rasional, tetapi kemudian hal ini juga tak memuaskannya.

Krisis spiritual dan intelektual yang dialaminya itu terekam dalam karyanya, al-Munqidz mina adh-Dhalal. Selama enam bulan, Ghazali mengalami kegelisahan batin.

Dia bimbang, apakah meneruskan posisinya sebagai pengajar atau berhenti. Sebab, dia sudah teranjur skeptis pada keandalan akal rasional dan metode empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Satu-satunya pilihan yang baginya terbuka lebar ialah jalan salik, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu yang tercerahkan iman kepada Allah SWT. Tasawuf telah menghilangkan segala kesangsian dalam dirinya.

Pada 1905, Imam Ghazali meletakkan jabatan di Akademi Nizhamiyah. Dia hendak mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa bekal secukupnya. Kepada keluarganya, dia meninggalkan sejumlah harta yang memadai sebagai nafkah.

Rekan-rekannya menganggap, Ghazali akan menunaikan ibadah haji, padahal faktanya lebih dari itu. Dia berupaya menempuh rihlah yang akan memalingkannya dari kekayaan, pangkat, popularitas, dan segala pernak-pernik duniawi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Usai musim haji, para petinggi negeri pun terkejut. Sebab, Ghazali tak kunjung pulang ke Baghdad. Raja Seljuk lantas memerintahkan para bawahannya agar segera menelusuri keberadaan penasehatnya itu. Untuk menghilangkan jejak, Ghazali pergi ke Damaskus (Suriah) lalu Baitul Maqdis.

Di kota suci itulah dia mengarang Ihya Ulum ad-Din (sumber lain menyebut, kitab monumental itu ditulis saat pengarangnya tinggal di Masjid Damaskus). Saat mengunjungi makam Nabi Ibrahim AS di Hebron, dia mengucapkan sumpah, tak akan lagi bersedia menjadi pegawai negeri, termasuk mengajar di lembaga-lembaga yang didirikan penguasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement