REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Umat Islam berpuasa di bulan kesembilan dalam kalender Hijriyah dan membedakannya dengan bulan-bulan lain dalam tahun Hijriyah dengan beribadah.
Ibada yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Bulan suci ini juga memiliki tempat khusus dalam warisan dan sejarah umat Islam, karena di dalamnya terdapat Lailatul Qadar, yang, sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT, lebih baik dari seribu bulan.
Namun, bagaimana asal usul nama bulan suci yang disebutkan dalam Alquran, mengingat sebelum Islam, bulan ini menyandang nama Ramadhan dan juga disebut "Natiq", dan puasa dikenal dalam agama-agama sebelumnya, tetapi tanpa dikaitkan dengan bulan Ramadhan.
Menurut Ammar Yahya, editor linguistik situs web Aljazeera, akar kata ra ma dha menunjukkan makna ketajaman pada sesuatu seperti panas dan hal-hal lainnya.
"Ramadhan adalah intensitas panas, oleh karena itu panas matahari yang menyengat di batu atau pasir disebut 'ramadha'," jelasnya.
Orang-orang kuno biasa memanfaatkan panas yang menyengat ini untuk berburu kijang, dan mereka akan mengikuti kijang tersebut pada saat migrasi hingga mereka kehabisan tenaga dan kakinya hancur akibat panas dan mengambilnya, dan mereka menyebutnya sebagai 'ramadha': "merumput", sementara menggembalakan domba berarti merumput di tengah cuaca panas.
Dia melanjutkan dalam blognya di Learn Arabic: "Ini tentang kijang dan domba, tetapi untuk anak unta (bentuk tunggalnya adalah faishal, yaitu anak unta), ramadh-nya adalah ketika unta-unta itu bersimpuh saking panasnya hari meningkat dan tanah membakar sandal mereka, yang merupakan waktu tengah hari.
BACA JUGA: Mengapa Malaysia, Singapura, dan Brunei Puasa Besok Meski Dekat dengan RI? Ini Kata Menag
Terkait keutamaan shalat sunnah pada waktu ini, Rasulullah SAW bersabda:
صلاة الأوّابين إذا رمِضَت الفصال
"Shalatnya kaum Awabin adalah ketika anak unta sedang ramadha.”
