REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Agama (Kemenag) meminta Komisi VIII DPR RI untuk mendukung kebijakan dukungan anggaran biaya penyelenggaraan ibadah haji untuk diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
"Kami mohon pada pimpinan dan anggota Komisi VIII yang terhormat agar kebijakan dukungan anggaran biaya penyelenggaraan ibadah haji menjadi salah satu bahan yang dapat dipertimbangkan, menjadi bagian penting dalam revisi UU," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief dalam rapat dengar pendapat Panitia Kerja (Panja) Penyelenggaraan Haji dan Umrah di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis.
Menurut Hilman, dukungan anggaran tersebut perlu diatur dalam revisi UU Haji, mengingat masih adanya kendala dalam penyusunan anggaran dari APBN terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Kendala tersebut di antaranya berkenaan dengan terbatasnya anggaran biaya operasional layanan dasar pada satuan kerja (satker) berupa operasional perkantoran serta langganan daya dan jasa.
Berikutnya, ada pula kendala yang berkaitan dengan anggaran yang dapat mendukung layanan ibadah haji yang bersumber dari dana operasional Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hilman juga telah menyampaikan bahwa Kemenag memandang bahwa pemanfaatan dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk operasional petugas haji perlu pula diatur dalam revisi UU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
"Perlu klausul tambahan di revisi UU Haji yang memungkinkan penggunaan dana BPIH untuk mendukung operasionalisasi petugas haji," kata dia. Menurut Hilman, hal tersebut perlu diatur dengan tetap mengedepankan prinsip efektif, efisien, dan ekonomis.
Usulan tersebut muncul, katanya, karena selama ini pendanaan dari APBN sering kali tidak cukup fleksibel dalam pemenuhan kebutuhan pendataan penyelenggaraan ibadah haji.