Selasa 19 Nov 2024 20:40 WIB

Awal Runtuhnya Kerajaan Islam Demak dan Ambisi Sultan Trenggono Kuasai Jawa Barat  

Wafatnya Sultan Trenggono jadi awal Runtuhnya Kerajaan Islam Demak

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Pengunjung berada di halaman Masjid Agung Demak, Jawa Tengah, Kamis (31/3/2022). Masjid yang dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama atau Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa tersebut merupakan destinasi wisata religi andalan di Kabupaten Demak.
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Pengunjung berada di halaman Masjid Agung Demak, Jawa Tengah, Kamis (31/3/2022). Masjid yang dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama atau Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa tersebut merupakan destinasi wisata religi andalan di Kabupaten Demak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Raden Patah yang menjadi Sultan Demak wafat pada  1518 Masehi. Kemudian Pati Unus putra dari Raden Patah menjadi penerus kerajaan dan diangkat menjadi sultan atau raja Demak.

Pati Unus terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani, dia pemimpin perlawanan terhadap Portugis di Malaka dengan ratusan kapal dari Jawa. Namun, Pati Unus tidak memiliki putra, ketika beliau wafat takhta kerajaan Demak digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Trenggono.

Baca Juga

Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggono (1521 - 1546) mencapai masa kejayaan. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana dan gagah berani seperti kakaknya Pati Unus. Wilayah kekuasaan yang berhasil ditaklukkannya bahkan terbilang sangat luas dibandingkan dengan masa pemerintahan Raden Patah yaitu meliputi Jawa Timur dan Jawa Barat. 

Pada masa pemerintahan Raden Trenggono, Portugis mulai memperluas pengaruhnya ke Jawa Barat dan merencanakan mendirikan benteng Sunda Kelapa untuk berlindung dari serangan yang mungkin dilakukan oleh Demak.

Sesuai prediksi Portugis akhirnya pada 1522 Sultan Trenggono benar-benar mengirimkan tentaranya ke Sunda Kelapa di bawah pimpinan Fatahillah.

Pengiriman pasukan Demak ke Jawa Barat bertujuan untuk mengusir bangsa Portugis. Tahun 1527 Fatahillah beserta para pengikutnya berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. 

Mulai saat itu Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta yang artinya kemenangan yang sempurna, sekarang kota Jayakarta dikenal dengan sebutan Jakarta, dikutip dari buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia yang ditulis Binuko Amarseto diterbitkan Istana Media, 2015.

Sultan Trenggono terhitung memiliki prestasi yang bagus dengan berhasil menaklukan kerajaan Mataram kuno di pedalaman Jawa Tengah dan kerajaan Singasari Jawa Timur bagian selatan. Sedangkan Pasuruan dan Panukuan dapat bertahan dari gempuran pasukan Sultan Trenggono.

Untuk Kadipaten Blambangan menjadi bagian dari Kerajaan Bali yang tetap menganut Agama Hindu. Namun dalam usahanya untuk menyerang Pasuruan pada 1546, Sultan Trenggono wafat. 

Setelah wafatnya Sultan Trenggono, timbulah perselisihan yang habat di Demak terkait siapa yang berhak menggantikannya menjadi sultan atau raja.

Kekacauan lain yang terjadi akibat meninggalnya Sultan Trenggono bertambah parah dengan adanya pertempuran antara para calon pengganti raja. Bahkan Ibukota Demak mengalami kerusakan yang cukup parah karena perang saudara. 

Peristiwa gugurnya tokoh-tokoh penting Demak saat menyerang Blambangan yang merupakan bekas kekuasaan kerajaan Majapahit, dan rongrongan dari dalam Demak sendiri membuat kerajaan makin lemah dan akhirnya runtuh dengan sendirinya. 

Mengenai pengiriman pasukan Demak ke berbagai wilayah, hal ini didorong Sultan Trenggono yang mempunyai cita-cita untuk menyatukan pulau Jawa di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut Sultan Trenggono mengambil langkah sebagai berikut.

BACA JUGA: Israel, Negara Yahudi Terakhir dan 7 Indikator Kehancurannya di Depan Mata

Pertama, menyerang Jawa Barat yakni wilayah Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon dipimpin Fatahillah.

Kedua, menyerang daerah Pasuruan di Jawa Timur (kerajaan Hindu Supit Urang) dipimpin Sultan Trenggono sendiri, serangan ke Pasuruan tidak membawa hasil bahkan Sultan Trenggono sendiri meninggal dalam peperangan tersebut.

Ketiga, mengadakan perkawinan politik. Misalnya Fatahillah dijodohkan dengan adiknya. Pangeran Hadiri dijodohkan dengan putrinya (adipati Jepara). Joko Tingkir dijodohkan dengan putrinya (adipati Pajang). Pangeran Pasarehan dijodohkan dengan putrinya (menjadi Raja Cirebon).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement