REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hubungan bangsa-bangsa dari jazirah Arab dan kepulauan Nusantara telah berlangsung lama, jauh sebelum berkembangnya agama Islam. Artinya sebelum datangnya Rasulullah SAW, para pedagang Arab sudah menginjakan kaki di bumi Nusantara.
Kegiatan perdagangan internasional antara Timur Tengah dan Cina telah menjadikan kepulauan Nusantara memiliki posisi strategis sebagai jalur utama lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari Barat ke Timur dan sebaliknya dari Timur ke Barat. Kota- kota pelabuhan segera tumbuh di pesisir Sumatera dan Jawa sebagai tempat singgah kapal-kapal asing itu.
Pada abad ke-7 dan ke-8 M, setelah agama Islam berkembang di jazirah Arab, kegiatan perdagangan internasional ini semakin marak. Kepulauan Nusantara bukan sekadar laluan pelayaran kapal dagang asing, tetapi juga tempat mengambil barang dagangan utama, seperti rempah- rempah, emas, dan kamper.
Para pedagang Arab yang datang ke Nusantara telah memeluk agama Islam dan turut berperan menyebarkan agama Islam ini di kalangan penduduk yang disinggahi atau ditempatinya, dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia.
Tetapi sampai abad ke-8 M, agama Islam hanya dipeluk sebagian kecil masyarakat Nusantara. Islam baru tersebar luas setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan memainkan peranan utama dalam kegiatan politik serta perdagangan internasional di Asia Tenggara.
Kerajaan-kerajaan Islam awal yang kuat itu di antaranya Samudera Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511), dan Aceh Darussalam (1516-1700). Di kerajaan-kerajaan yang terletak di Selat Malaka, jalur utama lalu lintas perdagangan internasional antara Cina dan Timur Tengah, di sinilah peradaban dan kebudayaan Islam untuk pertama kalinya berkembang di kepulauan Nusantara.
Sebagai negeri yang makmur pada zamannya, ketiga negeri ini tidak hanya menarik tumpuan para pedagang untuk datang berniaga dan mengambil barang niagaan. Tetapi juga mengundang utusan-utusan resmi dari kerajaan-kerajaaan Islam di Timur Tengah dan Asia Barat untuk datang, sebagaimana para ulama dan cerdik cendekia dari pusat-pusat peradaban Islam. Mereka senang tinggal di situ karena mendapat sambutan hangat dari raja-raja Muslim Nusantara dan diberi peluang mengembangkan dakwah Islam di tempat baru itu.
Seorang petualang bernama Ibnu Battutah dikenal sebagai musafir dari Arab mengunjungi Samudera Pasai pada 1336. Ibnu Battutah menulis dalam kitabnya Rihlah bahwa sultan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai datang ke istananya untuk membincangkan masalah agama dan penyebarannya. Cerdik cendekia dari Parsi sangat dihormati di Pasai. Karena sambutan hangat itulah banyak di antara mereka yang senang tinggal di Pasai, kawin-mawin dengan wanita setempat dan diberi fasilitas membangun berbagai lembaga keislaman, terutama pendidikan. Hal yang sama berlaku di Malaka dan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya.
Dari naskah-naskah Melayu lama yang telah diteliti, dapat diketahui bahwa cabang-cabang ilmu agama yang dipelajari di Nusantara itu sangat luas. Di antara cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu, dasar-dasar ajaran Islam, hukum Islam, ilmu kalam atau teologi, ilmu tasawuf, ilmu tafsir dan hadis, aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahw (tata bahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain.
Kesusastraan Arab dan Parsi juga merupakan bahan pelajaran yang utama. Tidak mengherankan pada abad ke-14 dan ke-15 M apresiasi dan minat kaum terpelajar Muslim Melayu terhadap kesusastraan Arab dan Parsi sudah tinggi. Berdasar dari minat dan apresiasi yang besar terhadap kesusastraan Arab dan Parsi maka tumbuh minat untuk melahirkan karya sastra dalam bahasa Melayu yang ketika itu telah menjadi bahasa pergaulan utama di bidang perdagangan dan intelektual.