Ahad 06 Oct 2024 14:54 WIB

Masa Kecil Syekh Nawawi Al Bantani: Sibuk Belajar, Usia 15 Tahun Pergi Haji

Kealiman Syekh Nawawi Al Bantani sangat terkenal di Nusantara dan Hijaz.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Jannatul Mala atau lebih dikenal dengan sebutan Pemakaman Mala menjadi salah satu tujuan ziarah jamaah haji dan umroh di Kota Mekkah. Pemakaman yang sudah ada sebelum Rasulullah lahir itu tertata rapi dengan batu-batu nisan tanpa nama. Beberapa keluarga Rasulullah dikebumikan di Mala. Di antaranya, Sayyidah Khadijah (istri), Aminah (ibu), Qasim dan Abdullah (anak), Abu Thalib (paman), dan Abdul Muthalib (kakek). Selain itu ada juga ulama Indonesia yang dimakamkan di Mala. Mereka adalah Syekh Nawawi Al Bantani dan yang terbaru KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) yang meninggal pada 2019 saat menunaikan ibadah haji.
Foto: Karta/Republika
Jannatul Mala atau lebih dikenal dengan sebutan Pemakaman Mala menjadi salah satu tujuan ziarah jamaah haji dan umroh di Kota Mekkah. Pemakaman yang sudah ada sebelum Rasulullah lahir itu tertata rapi dengan batu-batu nisan tanpa nama. Beberapa keluarga Rasulullah dikebumikan di Mala. Di antaranya, Sayyidah Khadijah (istri), Aminah (ibu), Qasim dan Abdullah (anak), Abu Thalib (paman), dan Abdul Muthalib (kakek). Selain itu ada juga ulama Indonesia yang dimakamkan di Mala. Mereka adalah Syekh Nawawi Al Bantani dan yang terbaru KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) yang meninggal pada 2019 saat menunaikan ibadah haji.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Syekh Nawawi Al-Bantani bernama lengkap Abu Abd al-Mu'thi Muhammad bin Umar al-Tanara al-Bantani. Syekh Nawawi Al-Bantani lahir di Kampung Tanara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten pada tahun 1815 M atau 1230 Hijriyah.

Pada masanya, ulama besar dari Banten yang keilmuannya diakui di dunia Islam ini dikenal dengan nama Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dengan keilmuannya, Syekh Nawawi Al-Bantani ulama Nusantara yang sangat terkenal di dataran Hijaz dan Nusantara pada abad ke-19.

Baca Juga

Ayah Syekh Nawawi Al-Bantani bernama KH Umar, seorang ulama yang memimpin masjid dan pendidikan Islam di Kampung Tanara. Ibunya bernama Jubaidah, seorang penduduk setempat.

Masa kecil Syekh Nawawi Al-Bantani hidup bersama ayahnya yang menjabat sebagai penghulu (agama), sebuah jabatan dari pemerintah Belanda yang mengurus masalah-masalah agama, dikutip dari buku Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi al-Bantani Indonesia yang ditulis Chaidar.

Dari silsilahnya, Syekh Nawawi Al-Bantani dipercaya sebagai keturunan Sultan Maulana Hasanuddin atau Sultan Banten I, putra dari Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Cirebon. Dengan demikian, nasabnya dipercaya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW.

Syekh Nawawi Al-Bantani mulai belajar pada ayahnya sendiri yakni KH Umar sejak usia lima tahun dan lama belajar selama tiga tahun. Ketika menjelang usia delapan tahun, Syekh Nawawi Al-Bantani berguru ke wilayah Jawa Timur untuk belajar selama tiga tahun juga.

Syekh Nawawi Al-Bantani juga belajar kepada seorang ulama terkenal di daerah Banten bernama Kiai Sahal. Kemudian ayah Syekh Nawawi Al-Bantani mengirimnya ke daerah sekitar Purwakarta atau Karawang untuk melanjutkan proses mencari ilmu kepada KH Yusuf.

Pada masa anak-anak, Syekh Nawawi Al-Bantani sudah belajar ilmu pengetahuan agama Islam bersama saudara-saudaranya. Ilmu-ilmu yang dipelajari di antaranya pengetahuan dasar bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), Fiqih, Tauhid dan Tafsir. 

Di usia yang baru menginjak 15 tahun, Syekh Nawawi Al-Bantani berkesempatan untuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Di tanah Suci, Syekh Nawawi Al-Bantani memanfaatkan waktunya untuk belajar Ilmu Kalam, bahasa dan sastra Arab, Ilmu Hadits, Tafsir dan Ilmu Fiqih. 

Pada tahun 1833, Syekh Nawawi Al-Bantani kembali ke kampung halamannya dengan membawa ilmu keagamaan yang cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Kedatangan Syekh Nawawi Al-Bantani saat itu membuat pesantren ayahnya dibanjiri santri-santri yang datang dari berbagai pelosok. 

Pengaruh kuat dari Syekh Nawawi Al-Bantani dan pesantrennya waktu itu cukup mendapat perhatian pemerintah Belanda. Terlebih sebelumnya terjadi perang akibat gerakan pemberontakan santri Diponegoro (tahun 1825-1830).

Setelah lama tinggal di Banten, Syekh Nawawi Al-Bantani kemudian kembali ke Makkah. Seiring berjalannya waktu, di sana ulama asal Banten ini menjadi guru dan imam Masjidil Haram.

Dalam catatan, Syekh Nawawi Al-Bantani disebut telah menulis 115 kitab bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits dan lainnya. Syekh Nawawi Al-Bantani juga mendapat gelar Sayyidul Hijaz karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah.

Tidak sedikit ulama dari Nusantara yang datang ke Makkah kemudian belajar kepada Syekh Nawawi Al-Bantani. Di antara mereka, saat pulang lagi ke Nusantara menjadi ulama besar dan pejuang yang melawan penjajahan yakni pemerintah kolonial Belanda.

Syekh Nawawi Al-Bantani wafat di Makkah pada tahun 1897, ada juga yang berpendapat tahun 1898.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement