REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Kekhalifahan Turki Utsmaniyah atau Ottoman (1516-1918 M), para mufti mulanya tampil mandiri dari kekuasaan negara. Ketika wilayah kekuasaan Ottoman terus berkembang, Hanafi diadopsi sebagai mazhab resmi.
Para mufti perlahan-lahan terkumpul dalam administrasi peradilan yang terpusat. Hal itu dimulai dari masa kepemimpinan Sultan Murad II (1421-1451 M). Seorang mufti tunggal sekaligus syaikhul-Islam, diposisikan sebagai otoritas satu-satunya mengenai syariat.
Pada masa Sultan Salim I (1512-1520 M), syaikhul-Islam memiliki pengaruh moral di ibu kota, Istanbul. Hal itu berpuncak pada masa kekuasaan Sulaiman (1520-1566 M). Seorang syaikhul-Islam bertanggung jawab atas hierarki peradilan yang cukup rumit, yang tersebar di seluruh negeri.
Dengan melonjaknya permintaan fatwa, para mufti masuk ke sistem birokrasi. Sultan mulai memerintahkan pendirian kantor-kantor yang menyebarluaskan fatwa. Di dalamnya, para profesional mengepalai sekaligus mengawasi peredaran fatwa hingga sampai ke masyarakat atau lembaga yang membutuhkannya di seantero negeri.
Berkat efisiennya sistem ini, dilaporkan bahwa pada abad ke-16, syaikhul-Islam mengeluarkan rata-rata 350 tanggapan atas berbagai permintaan fatwa, yakni dua kali sepekan. Bahkan, Abu as-Su'ud, yang diamanahi tugas sebagai syaikhul-Islam pada 1545-1574 diketahui pernah menulis sampai 1.400 fatwa dalam satu hari.
Fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan secara sistematis disimpan dalam dokumentasi negara. Beberapa di antaranya dikumpulkan dalam bentuk buku.
Melibatkan fatwa
Keputusan-keputusan penting Kesultanan Ottoman acap kali melibatkan fatwa. Pada 1516, Sultan Selim I meminta fatwa dari 'Ali al-Jamali untuk memberikan keabsahan atas penyerangan terhadap Kesultanan Mamluk di Mesir.
Pada 1570, Sultan Selim II meminta fatwa dari Abu as-Su'ud yang menanyakan keabsahan penyerangan tentara Ottoman terhadap Venetia. Bahkan, hingga hal yang sederhana. Soal konsumsi kopi, otoritas setempat meminta fatwa kepada Abu as-Su'ud.
Beroperasinya surat kabar pertama pun meminta fatwa dari Abdullah Effendi pada 1727 M. Pada abad ke-19 Masehi, reformasi hukum dan administrasi dalam Nizam-i Jadid mendapatkan legitimasinya dari fatwa Es'ad Effendi.
Ada dua kumpulan fatwa penting dari zaman Ottoman. Pertama, yang disusun Ibn Abidin dari fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan mufti Damaskus, Hamid al-'Imadi. Buku itu berjudul al-Uqud al-durriyya fi tanqih al-fatawa al-hamidiyya (1883).
Kedua, kumpulan fatwa dari mufti Suriah, Khayr al-Din al-Ramli, yang disusun anaknya. Buku itu diberi judul al-Fatawa al-Khayriyya li-naf al-bariyya (1883).