REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Abu Musa al-Asy’ari terus berkhidmat kepada umat. Ketika diberi amanah kedudukan di pemerintahan, karakteristiknya tetap lurus, bersahaja, dan amat berhati-hati (warak).
Ketika Khalifah Umar bin Khattab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, Abu Musa al-Asy'ari mengumpulkan para penduduk. Ia lalu berpidato di hadapan mereka.
"Sesungguhnya Amirul Mukminin Umar Khattab telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Allah dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian!"
Orang-orang heran dan bertanya-tanya. Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang agama, yang memang merupakan kewajiban seorang gubernur dan panglima. Namun, bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, ini memang amat mengherankan.
Kondisi umat Islam sempat dilanda krisis hebat sesudah syahidnya Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Bahkan, syahidnya sang Dzun Nurain menimbulkan perpecahan di tengah kaum Muslimin. Sejak itu, muncul dua kubu, yakni pro-Ali bin Abi Thalib di satu sisi dan pendukung Mu’awiyah bin Abi Sufyan di sisi lain.
Dalam pertentangan dengan sesama Muslim, Abu Musa al-Asy’ari mengundurkan diri dan tak ingin terlibat di dalamnya. Pendiriannya yang netral ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Muawiyah.
Ketika gencatan senjata dan perundingan (tahkim) akan berlangsung antara kubu Ali dan Mu’awiyah, nama Abu Musa kembali muncul. Sesungguhnya, Ali hendak mengajukan Ibnu Abbas sebagai wakilnya di meja tahkim. Apalagi, sesudah dirinya mengetahui bahwa kubu Mu’awiyah akan direpresentasikan Amr bin Ash.
Namun, para pendukung Ali yang fanatik—belakangan menjadi kaum Khawarij—justru mengusulkan sosok Abu Musa al-Asy’ari. Memang, sahabat Nabi SAW ini masyhur akan kenetralannya dalam dinamika politik antara Ali-Mu’awiyah.
Akhirnya, Ali mengalah terhadap keinginan mereka. Abu Musa pun dikirim untuk berunding. Hasilnya, kubu Ali kalah karena keunggulan Amr bin Ash dalam berkomunikasi—sehingga seolah-olah Ali “mengakui” kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Anehnya, kaum Khawarij justru menyalahkan Abu Musa dan juga Khalifah Ali.