REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Interaksi antara perempuan dan laki-laki terjadi di mana saja, baik tempat kerja, jalan, maupun ruang-ruang publik lainnya. Dalam perspektif syariat Islam, bagaimana batasan memandang bagi perempuan dalam konteks sosial ini?
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menahan pandangan yang diperintahkan dalam Alquran surah an-Nisa ayat 30-31 berlaku baik bagi perempuan maupun laki-laki. Yang dimaksudkannya bukanlah memejamkan mata atau menundukkan kepala hingga seseorang tak dapat melihat orang lain di hadapannya.
Makna dari menahan pandangan adalah membebaskan pandangan dari tempat-tempat fitnah yang merangsang. Dengan demikian, laki-laki diizinkan melihat perempuan dengan catatan tak melihat auratnya dan tidak pula disertai syahwat. Saat melihat aurat dan diiringi dengan syahwat, maka hukumnya menjadi haram.
Hal yang sama juga berlaku bagi wanita. Perempuan boleh memandang laki-laki secara beradab dan menahan pandangannya. Ia juga tak melihat aurat laki-laki yang tentu saja diharamkan.
Syekh al-Qaradhawi dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, mengutip Imam Ahmad yang meriwayatkan hadis dari 'Aisyah. Ummul mukminin itu menuturkan, orang-orang Habsyi pernah bermain-bermain di sebelah rumah Nabi Muhammad SAW saat hari raya. Ia melihat mereka dari atas pundak Rasul SAW.
"Beliau merendahkan pundaknya karena saya. Saya melihat mereka dari pundak beliau sehingga saya puas, kemudian saya berpaling," ujar 'Aisyah.
Sementara itu, golongan Syafi'iyah berpandangan, laki-laki tak boleh memandang perempuan; dan perempuan pun tak boleh memandang laki-laki.
Ini bersandar pada hadis riwayat Tirmidzi yang berasal dari Ummu Salamah dan Maimunah--keduanya adalah istri Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis itu, Rasulullah SAW memerintahkan Ummu Salamah dan Maimunah berhijab dari Abdullah bin Ummi Maktum.
Keduanya merespons, "Bukankah dia (Abdullah) tunanetra yang tak dapat melihat kami?"
Rasul SAW balik bertanya kepada mereka, "Apakah kamu berdua tunanetra? Bukankah kamu berdua dapat melihat?"
Al-Qaradhawi mengungkapkan, hadis itu tak dapat menjadi dasar bagi mereka yang menegaskan bahwa perempuan tak boleh memandang laki-laki, demikian pula sebaliknya. Alasannya, hadis itu tak luput dari kelemahan, yaitu dari sisi sanad dan dilalah-nya.
Hadis itu tak mencapai derajat seperti hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Shahihain, yang mengizinkan perempuan memandang laki-laki. Jadi, pada intinya, perempuan boleh memandang laki-laki, yakni bukan pada bagian auratnya.
Mayoritas ahli fikih menetapkan aurat laki-laki itu adalah bagian antara pusar dan lutut. Adapun bagian lainnya, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan lain-lainnya, boleh dipandang. Namun, tetap saja ada batasan yang harus dipatuhi perempuan, yaitu tak memandang laki-laki disertai hawa nafsu birahi.
Jika seorang perempuan melihat laki-laki lalu timbul hasrat, mestinya perempuan itu menahan pandangannya, jangan malah meneruskan keinginan nafsunya itu.
Perempuan yang mengumbar pandangannya akan diserang kegelisahan karena hatinya tak dapat lepas dari syahwat. Pilihan menahan pandangan membuat perempuan mengosongkan hatinya dari kemaksiatan.