Selasa 17 Sep 2024 12:38 WIB

Hamil Tua dan Sulit Bergerak, Bolehkah Menjamak Shalat?

Ada ragam pendapat tentang hukum menjamak shalat bagi ibu hamil.

ILUSTRASI Ibu hamil.
Foto: dok pxhere
ILUSTRASI Ibu hamil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berada dalam fase hamil tua bagi terasa melelahkan bagi kebanyakan kaum perempuan. Saat usia kandungan mendekati momen melahirkan, tenaganya menjadi kian terkuras. Ini berdampak pada kurangnya kemampuan beraktivitas sebagaimana biasa.

Bolehkan ibu hamil meninggalkan shalat dengan alasan demikian? Bila tidak, bolehkah ia menjamak shalat agar lebih mudah baginya?

Baca Juga

Bagi Muslim atau Muslimah yang telah akil dan baligh, menunaikan shalat adalah sebuah kewajiban, apa pun kondisinya, sesuai dengan batas kemampuan. “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS an-Nisa: 103).

Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Raudlat at-Thalibin mengatakan, jumhur ulama bersepakat bahwa wanita hamil tidak boleh meninggalkan shalat lima waktu. Memang, ada kalanya ibu hamil kesusahan melakukan beberapa aktivitas, seperti mengambil air wudhu hingga saat pelaksanaan shalat. Karena itulah, muncul diskusi di kalangan para fukaha, bolehkah wanita hamil menjamak shalat.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjamak shalat karena alasan keberatan dan ketidakberdayaan pada saat menetap atau sedang tidak bepergian. Pendapat pertama mengatakan, ibu hamil tidak boleh menjamak shalat dengan alasan tersebut.

Pandangan ini disampaikan oleh para ahli dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan sebagian besar pakar fikih. Di kalangan Hanafi, secara khusus, sebagaimana dinukil Ibnu al-Hammam dalam Syarah Fath al-Qadir, ibu hamil tak boleh menjamak shalat selain di dua tempat, yaitu Arafah dan Muzdalifah.

Menurut kelompok kedua, ibu hamil diperbolehkan menjamak shalat karena alasan keberatan dan ketidakberdayaan. Pendapat ini banyak disuarakan oleh ulama dari Mazhab Hanbali dan al-Qadhi Husain. Sebagian ulama hadis juga memilih pendapat ini.

Namun, mereka memberikan satu syarat, yaitu tidak menjadikan dua alasan, yaitu masyaqqah dan dha’f, sebagai pembenaran untuk selalu menjamak shalat.

Adapun dalil yang dijadikan dasar oleh kelompok pertama, antara lain, hadis riwayat Jabir bin Abdullah. Dalam hadis tersebut dijelaskan, Malaikat Jibril shalat dan menjadi imam bagi Nabi Muhammad SAW selama dua hari berturut-turut. Usai shalat, Jibril menjelaskan kepada Rasulullah SAW tentang waktu pelaksanaan masing-masing shalat dan tak ada keterangan tentang boleh atau tidaknya didahulukan atau diakhirkan waktunya.

Adapun kelompok yang kedua menggunakan hadis riwayat Ibnu Abbas dengan perawi antara lain Habib bin Abi Tsabit. Hadis yang dinukil dalam Shahih Muslim tersebut mengisahkan bahwa konon Rasulullah SAW pernah menjamak antara shalat zuhur dan ashar serta maghrib dan isya. Itu dikerjakan beliau saat berada di Madinah dalam situasi normal, bukan keadaan berperang ataupun tengah turun hujan deras.

Ibnu Abbas pun ditanya apa alasan Rasulullah SAW menjamak shalat-shalat tersebut. Ia pun menjawab bahwa apa yang ditempuh oleh Nabi SAW bertujuan agar tidak memberatkan umatnya.

Imam Ahmad bin Hanbal kemudian mengomentari hadis riwayat Ibnu Abbas tersebut. Menurut dia, ketentuan ini merupakan dispensasi bagi mereka yang sakit dan menyusui, termasuk mereka yang mendapati kesulitan dan ketidakberdayaan. Kondisi hamil tua termasuk satu dari kesekian bentuk kesulitan sehingga berhak atas rukhsah (keringanan).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement