REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk menjadi orang terbaik dan tersukses di tengah-tengah manusia, sebenarnya sederhana saja. Cukup menjadi orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Itulah rumus yang diberikan Nabi Muhammad SAW, "Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain" (HR Ahmad).
Rumus Rasulullah SAW ini sangat sesuai dengan konsep dunia modern, baik ditinjau dari aspek ekonomi, politik, sosial, dan lainnya. Rumus ini pun sudah terbukti ampuhnya, sebagaimana dapat kita lihat pada diri para sahabat beliau.
Mereka sukses dalam kehidupan. Para sahabat tersebut meyakini, untuk menjadi orang sukses, tipsnya sederhana, sebagaimana arahan Rasulullah SAW. Hanya perlu menjadi orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Di antara mereka adalah Utsman bin Affan. Ia adalah seorang pria sukses, pebisnis kaya, dan juga akhirnya menjadi khalifah ketiga bagi umat Islam.
Utsman berprinsip, dirinya tak mau ketinggalan ketika ada peluang untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat Islam. Ia akan tampil sebagai orang yang paling banyak dan paling besar menebar manfaat bagi orang lain.
Ketika kaum Muslimin hijrah dari Makkah ke Madinah, mereka dilanda kesulitan air. Saat itu, ada sebuah sumur milik seorang Yahudi di Madinah yang airnya diperdagangkan.
Utsman peka membaca kesulitan kaum Muslimin soal air ini. Ia melihat, banyak di antara kaum Muhajirin yang tak membawa harta benda ketika berhijrah ke Madinah. Mereka tak sanggup jika membeli air yang sangat mahal dari si Yahudi Madinah.
Akhirnya, Utsman pun membeli setengah sumur tersebut dari si Yahudi. Hitung-hitungannya, sehari sumur itu milik Yahudi dan sehari esoknya milik Utsman bin Affan. Utsman tak segan mengeluarkan uang sebanyak 12 ribu dirham untuk membeli sumur tersebut.
Ketika giliran hak pakai Utsman bin Affan, kaum Muslimin dipersilakannya mengambil air sumur itu untuk berbagai keperluan secara gratis. Dengan demikian, ketika giliran hak pakai si Yahudi, tak ada lagi kaum Muslimin yang membeli air darinya.
Si Yahudi merasa rugi dan akhirnya menjual saham kepemilikannya yang separuh lagi kepada Utsman seharga 8.000 dirham. Kaum Muslimin pun akhirnya bisa leluasa memanfaatkan sumur tersebut kapan saja.
Sehebat apa pun suatu bisnis, seperti yang dimiliki si Yahudi ini, akan gulung tikar jika berhadapan dengan pebisnis yang menebar manfaat.
Karena persoalan sumur ini saja, popularitas (bahasa kini: elektabilitas) Utsman naik di kalangan kaum Muslimin. Walaupun, tentu, yang bersangkutan tidak pernah memperhitungkan hal itu. Sebab, amalannya tertuju pada semata-mata ridha Allah dengan mengikuti teladan Rasulullah SAW.
Bagaimanapun, pada faktanya Utsman tidak lantas jatuh miskin karena mengambil keputusan besar itu. Kekayaannya di Madinah justru naik berlipat-lipat karena bisnisnya terus berkembang, seiring dengan besarnya simpati yang datang dari umat Islam. Sang dzun nurain--demikian julukannya--tercatat sebagai salah satu sahabat paling kaya ketika itu.