Selasa 06 Aug 2024 05:57 WIB

Reaksi PBNU soal Kerusuhan Anti Muslim di Inggris

Protes anti imigran dan anti Muslim yang berujung kerusuhan di Inggris.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Kerusuhan hebat melanda beberapa kota di Inggris pada hari Sabtu (3/8/2024), menyusul kabar palsu terkait pelaku pembunuhan tiga perempuan muda dalam sebuah kelas dansa di Southport.
Foto:

Sebenarnya, kata dia, pemerintah Inggris itu relatif lebih terbuka daripada masyarakatnya, terutama masyarakat konservatif yang generasi tua. Namun, menurut dia, apa yang terjadi di Inggris baru-baru ini menjadi puncak dari kegelisahan-kegelisahan dari penduduk pribumi. 

"Jadi ini saya kira merupakan kelanjutan dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Jadi kebencian atau keresahan itu belum terlampiaskan dan belum mendapatkan jalan keluar dari keresahan itu," kata dia. 

Diharapkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa agar warganya bisa lebih makmur dan lapangan kerja lebih terbuka. Namun, kata dia, semua itu tidak terjadi, sehingga pelampiasannya adalah ke masyarakat minoritas. 

"Muslim itu kan minoritas di situ. Nah, jadi di satu sisi ini adalah tantangan bagi masyarakat Inggris dan Eropa untuk menata kembali kehadiran masyarakat imigran," jelas Suaedy. 

Dia menambahkan, sebagian masyarakat Eropa dan Inggris itu sebenarnya sudah memberikan tempat kepada muslim. Menurut dia, sudah ada banyak masjid yang berdiri di berbagai kota dan muslim di Inggris sendiri sebenarnya sudah merupakan generasi kedua dan ketiga. 

"Jadi itu sudah menjadi bagian dari bangsa Inggris, cuma secara kultural tidak seluruhnya menerima. Mereka kan dididik di keluarga muslim, dan kultur dari negaranya lalu dibawa ke situ. Jadi itu turun-temurun. Nah ini yang mungkin tidak terjadi tukar-menukar kebudayaan," kata Suaedy. 

Seperti diketahui, kerusuhan disertai kekerasan terkait aksi anti-Islam dan antiimgran meluas di seantero Inggris dalam beberapa hari terakhir, dan memuncak pada Sabtu (3/8/2024) dan Ahad (4/8/2024) kemarin. 

Dilaporkan New York Times, kekerasan tersebut dipicu oleh disinformasi online dan kelompok ekstremis sayap kanan yang bertujuan menciptakan kekacauan setelah penusukan yang menewaskan tiga anak perempuan oleh seorang remaja. 

Tersangka, Axel Rudakubana (17 tahun), lahir di Inggris, namun beberapa jam setelah serangan tersebut, disinformasi mengenai identitasnya – termasuk klaim palsu bahwa ia adalah seorang migran tidak berdokumen – menyebar dengan cepat secara online. Aktivis sayap kanan lalu menggunakan aplikasi perpesanan termasuk Telegram dan X untuk mendesak masyarakat turun ke jalan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement