Jumat 14 Jun 2024 10:47 WIB

Umat Islam RI Puasa Arafah Saat Idul Adha di Saudi, Benarkah Dilarang Nabi?

Ulama Saudi malah menyarankan kita untuk tetap mengikuti keputusan lokal

Jutaan jamaah haji seluruh dunia mulai berkumpul di padang Arafah  (10/05/1995). Mereka melaksanakan Wukuf sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji .Foto: BAkhtiar Phada/Republika
Foto:

Lantas, bagaimanakah menentukan tanggal 9 Dzulhijjah? Di sinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.

Maka cara menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 Dzulhijjah. Dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan. Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; Hisab Wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya.

Bagaimana jika penetapan tanggal 1 Dzulhijah ternyata berbeda dengan negeri lainnya? Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini setiap negeri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya keputusan ini bukan dengan semaunya kita, tetap harus melalui metode yang benar.

Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang sudah masyhur, diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya: “Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya pulang ke  Madinah. Setibanya di  Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku."

“Kapan kalian melihat hilal ?” tanya Ibnu Abbas. “Kami melihatnya malam Jumat”, jawab Kuraib. “Kamu melihatnya sendiri ?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa”, jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan: “Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”.

Jawab Ibnu Abbas, “Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580).

Dari cerita Kuraib di atas bisa diambil beberapa pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu umat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkinkan bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keputusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.

Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Arab Saudi boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.

Tidak harus mengikuti Arab Saudi...

 

sumber : Pusat Data Republika

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement