Kamis 13 Jun 2024 01:15 WIB

Saran MUI terkait Peran Indonesia Hentikan Perang di Palestina

Khariri berharap masyarakat melihat persoalan Palestina dengan profesional.

Warga Palestina memeriksa kerusakan di sebuah rumah usai serangan Israel di desa Kafr Dan dekat kota Jenin, Tepi Barat, 12 Juni 2024.
Foto: EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Warga Palestina memeriksa kerusakan di sebuah rumah usai serangan Israel di desa Kafr Dan dekat kota Jenin, Tepi Barat, 12 Juni 2024.

REPUBLIKA.CO.ID,   JAKARTA -- Wakil Sekretaris Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Khariri Makmun menyebut Indonesia perlu menyiapkan diplomasi jalur kedua (second track diplomacy) dalam perjuangan membela Palestina, alih-alih dengan melakukan unjuk rasa yang kadang ditumpangi dengan agenda khilafah.

“Maksudnya adalah dengan mendatangkan figur yang dipandang netral dan tidak mewakili pemerintah untuk melakukan penjajakan dengan para tokoh Hamas,” kata Khariri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Intersolutional Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu menjelaskan upaya ini sama seperti pertama kali Taliban berkuasa di Afghanistan, Indonesia juga memfasilitasi pembicaraan langsung dengan tokoh-tokoh Taliban yang ada di Qatar.

“Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya rasa perlu ada dialog dengan kelompok-kelompok garis keras seperti Hamas melalui pendekatan second track diplomacy,” ujarnya.

Khariri berharap masyarakat melihat persoalan Palestina dengan profesional. Platform kemanusiaan harus menjadi landasan penyelesaian konflik di Tanah Para Nabi itu, karena banyak hal yang terjadi di Palestina tidak sesederhana yang dilihat oleh mata.

“Hanya Indonesia dengan negara-negara tertentu nyatanya tidak mampu. Bahkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) saja yang berisi banyak negara Timur Tengah belum bisa meredam konflik. Dibutuhkan kekuatan lintas negara, agama, dan ideologi untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel,” katanya.

Pengasuh Pesantren Algebra di Ciawi Bogor itu memaparkan peristiwa penyerangan kamp pengungsian oleh Israel di Rafah, Gaza, telah menyita perhatian dunia. Banyak korban berjatuhan dari masyarakat sipil dianggap sebagai niat sesungguhnya Zionis Israel melepaskan roket, dan sudah bisa dikatakan sebagai genosida di abad modern.

Perhatian datang dari seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Agresi militer Israel terhadap Palestina menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai, menjurus pada genosida dengan serangan membabi buta menewaskan ribuan nyawa rakyat Palestina.

Cita-cita kemerdekaan masih jauh dari harapan, kondisi diperparah oleh standar ganda hak asasi manusia (HAM) yang disematkan oleh sekutu Israel terhadap Palestina.

Khariri menyayangkan ada pihak yang memanfaatkan penderitaan rakyat Palestina untuk melancarkan narasi politik apapun, termasuk yang bernafaskan khilafah. “Mem-framing isu kemanusiaan di Palestina dengan agenda khilafah justru akan merugikan rakyat Palestina,” ujarnya.

Dia menyebut Palestina sudah menjadi isu global yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, genosida dan kejahatan kemanusiaan. Aktor-aktor yang menggerakkan isu Palestina semakin meluas, dan tidak dibatasi oleh sentimen negara, suku dan ras. “Mari kita tunjukkan kepedulian bersama dengan mengawal kemerdekaan dan keadilan untuk Palestina agar tidak ditumpangi oleh pengusung ideologi khilafah,” kata Khariri.

Khariri menambahkan pengerahan massa dalam demonstrasi “Bela Palestina” kadang malah berkontribusi pada destabilisasi Indonesia. Khilafah adalah salah satu isu yang sering diangkat dalam kesempatan tersebut.

Padahal, demonstrasi di dalam Indonesia sendiri bukanlah cara yang efektif dalam menyuarakan dukungan diplomasi pada Palestina di depan wajah dunia internasional. “Upaya-upaya yang kontraproduktif dalam mendukung Palestina justru mereduksi dan mengecilkan segala perjuangan Indonesia untuk Palestina,” katanya.  

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement