Kamis 16 May 2024 03:44 WIB

Salafi di Mata Pejabat Kementerian Agama dan Idealitas Paham Keagamaan

Kelompok seperti salafi wahabi ini cenderung berkembang menjadi sikap radikal.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Membaca teks keagamaan harus dibarengi dengan kearifan warga sekitar sehingga menciptakan keharmonisan.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Urusan Agama Islam (Urais) Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Adib turut memberikan komentar terkait kelompok salafi wahabi yang  cukup ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Menurut dia, karakter kelompok seperti salafi wahabi ini cenderung berkembang menjadi sikap radikal. 

Adib menuturkan, dalam Islam telah muncul dan berkembang beragam kelompok, paham, aliran, dan mazhab yang berbeda-beda, baik dari sisi teologi, fikih, maupun praktik ihsan atau tasawuf. Menurut dia, Islam yang rahmatan lil alamin tidak akan terwujud jika ada kelompok, paham, atau aliran yang menolak keragaman dan perbedaan tersebut. 

Baca Juga

"Islam rahmatan lil alamin tidak akan terwujud jika kaum Muslim tidak menghargai kelompok yang berbeda dari sisi paham keagamaan dan juga tidak mau menerima tradisi yang ada dan berkembang di negeri ini," ujar Adib kepada Republika pada Rabu (15/5/2024). 

Saat ini di Indonesia dan juga di beberapa kawasan dunia lain sedang berkembang kelompok, paham, dan ideologi transnasional yang menafikan keragaman dan perbedaan. Menurut dia, kelompok-kelompok ini menolak keras tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. 

Kelompok semacam ini, kata dia, juga menolak kelompok apa pun yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka. Mereka meyakini, hanya keyakinan, ajaran, dan praktik keagamaan mereka satu-satunya yang benar. Sementara, kelompok lain yang berbeda dianggap sebagai kelompok yang sesat bahkan kafir.

"Dan, karena dianggap kafir, kelompok atau pengikut yang berbeda halal darahnya. Sikap intoleran yang menjadi karakter kelompok semacam ini cenderung berkembang menjadi sikap radikal yang merusak keutuhan dan persatuan umat," ucap Adib. 

"Karenanya, sikap intoleransi semacam ini menjadi ancaman besar bagi keutuhan dan persatuan Indonesia, serta merusak nilai-niilai ke-Indonesiaan," kata dia. 

Biasanya, lanjut dia, kelompok yang mengampanyekan ideologi transnasional menekankan interpretasi tekstual Alquran dan Hadis secara kaku, seraya mengabaikan konteks dan sejarah. Hal ini melahirkan pandangan sempit yang tidak sejalan dengan tradisi Islam di Indonesia yang kaya akan penerimaan terhadap tradisi dan toleransi. 

Paham semacam ini, menurut Adib, juga menolak tradisi dan praktik Islam yang berkembang di Indonesia, seperti tahlilan, ziarah kubur, dan peringatan Maulid Nabi. Sikap ini memicu perpecahan dan menggerus harmoni antarumat beragama. 

"Karenanya, paham keagamaan dengan penafsiran tekstual yang kaku dan menolak tradisi seperti ini berisiko mengarah pada radikalisme dan tindakan kekerasan, yang tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan toleransi yang dianut bangsa Indonesia," jelas Adib. 

Lalu pemahaman keagamaan seperti apa yang idel untuk memperkuat nilai-nilai keindonesiaan?

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement