Senin 22 Apr 2024 14:48 WIB

Tradisi Syawalan di Indonesia, Ini Hukumnya Menurut Pandangan Ulama NU

Tradisi syawalan adalah wujud rasa syukur kepada Allah atas limpahan rezeki.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
 Grebeg Kupat Tumpeng Syawalan yang digelar di Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (17/4/2024).
Foto:

Dia mengatakan ungkapan rasa syukur tentu dianjurkan karena memang memiliki nilai kebaikan. Namun, dia mengingatkan, jangan sampai tradisi tersebut menunjukkan tabzir atau mubazir terhadap sesuatu yang memiliki nilai harta.

"Syukurnya dianjurkan karena memang baik. Akan tetapi, harus diungkapkan dengan cara yang baik. Kalau ungkapan syukur itu dengan menggunakan satu hal yang tidak baik misalnya membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta, jangan sampai terjadi hal seperti itu," tuturnya kepada Republika.co.id, Senin (22/4/2024).

Kiai Afifuddin melanjutkan, bila ada makanan, maka makanan itu harus dimakan dan jangan dibuang ke laut. Ini meliputi makanan apa saja. Dia menambahkan, membuang sesuatu yang memiliki nilai harta itu dilarang dalam Islam.

"Membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta, dilarang dalam agama. Apalagi syirik, punya keyakinan bahwa sesuatu yang punya kuasa selain Allah. Ini syirik," jelasnya.

Karena itu, Kiai Afifuddin menyampaikan, tradisi syawalan tentu dibolehkan selama tidak ada unsur tabzir atau membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta. Kedua, tidak ada dimensi syirik. "Jangan sampai timbul keyakinan bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan Allah ta'ala. Itu syaratnya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement