REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk dalam hal nama. Umumnya, nama seseorang dipahami menyimpan harapan atau doa dari ayah dan ibunya.
Dalam berbagai kasus, beberapa orang tua memutuskan untuk mengganti nama anaknya sendiri. Sebab, mereka menganggap bahwa nama-lama berkaitan dengan nasib yang sering menimpa putra atau putrinya, semisal sakit atau kecelakaan.
Bagaimana fenomena ini dipandang menurut syariat? Menurut Ustaz Bendri Jaisyurrahman, Islam pada hakikatnya membolehkan penggantian nama orang.
Nabi Muhammad SAW pun pernah mengganti nama beberapa sahabatnya. Misal, pada waktu seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan menyebut bahwa namanya adalah Hazn.
Dalam bahasa Arab, hazn berarti 'sedih.' Oleh Nabi SAW, nama pria itu diganti menjadi Sahal, yang berarti 'mudah.'
Namun, lanjut Ustaz Bendri, perkara mengganti nama ini harus hati-hati karena mesti berangkat dari niat yang benar.
"Ketika niat mengganti nama anak karena (dengan nama itu) anak dianggap sering sakit-sakitan, maka ini dikhawatirkan mengandung kesyirikan," kata Ustaz Bendri saat dihubungi Republika, Jumat (23/8/2024).
"Sebab, sakitnya seseorang tidak disebabkan oleh nama orang itu. Apalagi, kalau namanya memang berarti baik, semisal Ahmad, Muhammad, dan lain sebagainya," sambung dai yang kerap mengisi acara parenting tersebut.
Ia mengingatkan kaum Muslimin agar mewaspadai perkara tathayyur. Istilah ini diambil dari attahyru, yang berarti 'burung.'
Dahulu, orang-orang Arab Jahiliyah sering menganggap burung tertentu sebagai pembawa sial. Bila sedang berjalan dan berpapasan dengan burung itu, orang langsung percaya bahwa dirinya akan bernasib buruk.
"Tathayyur ini kesyirikan yang dimaknai sebagai, timbulnya kesialan disebabkan benda tertentu," ucap Ustaz Bendri.
"Jadi, jangan menganggap bahwa anak 'keberatan nama' sehingga namanya lalu diganti; atau, ketika sakit dan lalu dimaknai bahwa ini terkait namanya," tukas dia.