REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sempat dikira sebagai sosok alim yang sangat mendalami Islam, Christian Snouck Hurgronje, ternyata adalah oritentalis yang mempunyai agenda besar imperalisme di Indonesia.
Ia dikenal sebagai orientalis dan ahli politik imperialis. Ia lahir 8 Februari 1857 di Oosterhout dan meninggal pada 26 Juni 1936 di Leiden. Ia anak keempat pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta Christiaan de Visser.
Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya, Snouck sempat bercita-cita menjadi seorang pendeta. Maka, pada 1874 ia memasuki Fakultas Teologi di Universitas Leiden.
Lulus sarjana muda pada 1878, Snouck melanjutkan ke Jurusan Sastra Arab di Universitas yang sama. Ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Sastra Se mit pada 1880 dengan disertasi berjudul Het Mekkansche Feest (Perayaan Makkah).
Beberapa orientalis terkenal menjadi guru dan sahabat Snouck serta sangat mempengaruhi pandangannya tentang Islam dan politik imperialis. Mereka antara lain adalah Abraham Kuenen, C P Tieles, L W E Rauwenhoff, MJ de Goeje, Ignaz Goldziher, Theodor Nöldeke, dan R P A Dozi.
Untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam dan bahasa Arab, pada 1884 Snouck pergi ke Makkah. Di hadapan para ulama, ia menyatakan masuk Islam dan memakai nama Abdul Ghaffar.
Ia mengadakan hubungan langsung dengan para pelajar dan ulama yang berasal dari Hindia Belanda.
Saat bertugas di Hindia Belanda, banyak pribumi Muslim memberinya gelar Syaikhul Islam Tanah Jawi karena kagum pada ilmunya dan menyangkanya benar-benar sebagai Muslim. Padahal, menurut P Sj Van Koningsveld, keislaman Snouck Hurgronje hanyalah tipu muslihat.
Karena sering menghadapi perlawanan jihad dari umat Islam, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1889 mendatangkan Snouck Hurgronje ke Indonesia.
Mereka mengangkatnya sebagai penasihat untuk urusan-urusan Arab dan pribumi. Tugas nya adalah melakukan penyelidikan mengenai hakikat agama Islam di Indonesia dan memberikan nasihat kepada pemerintah mengenai urusan-urusan agama Islam. Sesuai dengan tugasnya, Snouck merumuskan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam.
Ia membedakan Islam dalam arti ibadah dengan Islam sebagai kekuatan sosial politik. Ia membagi masalah Islam atas tiga kategori.
Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan atau aspek ibadah, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya.
Snouck menyatakan bahwa pemerintah Belanda yang kafir masih dapat memerintah Indonesia sejauh mereka dapat memberikan perlakuan yang adil dan sama-rasa sama-rata, bebas dari ancaman dan despotisme.
Baca juga: Golongan yang Gemar Membaca Alquran, Tetapi Justru tidak Mendapat Syafaatnya
Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam atau aspek muamalat, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya.
Ketiga, dalam masalah politik, Snouck menasihati pemerintah untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan kaum Muslim yang dapat menyebarkan se uan-seruan Pan-Islamisme atau menyebab kan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini, Snouck menekankan pentingnya politik asosiasi kaum Muslim dengan peradaban Barat.
Cita-cita seperti ini mengandung maksud untuk mengikat jajahan itu lebih erat kepada penjajah dengan menyediakan bagi penduduk jajahan itu manfaat-manfaat yang terkandung da lam kebudayaan pihak penjajah dengan menghormati sepenuhnya kebudayaan asal (penduduk).
Agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai, pendidikan model Barat harus dibuat terbuka bagi rakyat pribumi.
Sebab, hanya dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau setidaknya dikurangi. Dalam bukunya, Nederland en de Islam, Snouck menyatakan, Opvoeding en onderwijs zijn in staat de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. Artinya, Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan kaum Muslim dari genggaman Islam (hlm 79).
Melalui pendidikan itu, pemikiran Snouck tentang Islam disebarkan. Seperti gurunya, Ignaz Goldziher, Snouck mengingkari turunnya wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW. Dia bahkan menuduh Alquran sebagai hasil saduran Muhammad dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Mohammedanism, hlm 30-31).