McDonald's tidak memiliki gerai di Gaza atau Tepi Barat yang diduduki, namun Israel telah bentrok dengan pejuang Hizbullah di negara tetangga Lebanon, yang memiliki gerai tersebut.
“Kita pasti berada di dunia pasca-Teori Golden Arches tentang Pencegahan Konflik,” kata Paul Musgrave, seorang profesor ilmu politik di Universitas Massachusetts Amherst kepada Aljazirah, Jumat (20/10/2023).
Musgrave mengatakan meskipun Rusia dan Ukraina sama-sama memiliki McDonald’s pada 2022, mereka tetap berperang. Kini, konflik-konflik di dalam kerajaan McDonald’s mencerminkan tekanan dan ketegangan yang sebenarnya di wilayah tersebut.
Merek global lain yang terlibat kontroversi
McDonald’s bukanlah merek global pertama yang terlibat dalam kontroversi karena pendiriannya terhadap konflik Israel-Palestina. Unilever multinasional yang berbasis di Inggris mendapat kecaman dari investor tahun lalu karena gagal mengungkapkan bahwa anak perusahaan merek es krimnya, Ben and Jerry’s, telah memutuskan memboikot wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur pada 2021.
Pengecer Spanyol Zara diboikot beberapa pembeli tahun lalu setelah ketua waralaba Israel, pengusaha Kanada-Israel Joey Schwebel, menjadi tuan rumah acara kampanye untuk menteri sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir di rumahnya. Merek-merek besar juga terlibat dalam kontroversi mengenai catatan hak asasi manusia di negara lain seperti China.
Pada 2021, pengecer Jepang MUJI menghadapi kritik setelah secara terbuka mendukung kapas yang ditanam di wilayah Xinjiang, China, tempat para aktivis hak asasi manusia mengatakan etnis minoritas Muslim dieksploitasi untuk kerja paksa. Musgrave mengatakan impian bahwa kapitalisme dan perdagangan akan menenangkan nasionalisme dan bentuk semangat lainnya ternyata mempunyai beberapa kelemahan.
“Memiliki waralaba McDonald’s yang berbeda dan berakhir pada sisi (retoris) yang berbeda adalah contoh lain bagaimana politik merasuki segalanya," ujar Musgrave.