Salah satu putra Abdul Karim Oei, Muhammad Ali Karim Oei mengatakan, fasad masjid tersebut dirancang untuk membuat masjid lebih ramah bagi etnis China yang ingin masuk ke dalam dan bertanya tentang Islam.
“Mereka bebas bertanya apa saja dan belajar tentang Islam di sini, bahkan beberapa pertanyaan mendalam mungkin enggan mereka tanyakan di masjid lain. Ini adalah alasan lain kami memilih nama Lautze – kata dalam bahasa Mandarin yang berarti guru,” kata Muhammad Ali.
Masjid ini telah menyaksikan lebih dari 1.000 orang China-Indonesia memeluk Islam. Karena reputasinya sebagai tempat yang tidak menghakimi bagi orang China-Indonesia yang ingin mempelajari Islam, dan bagi para mualaf, serta Muslim China lainnya untuk menjalankan agama sehingg didirikan Masjid Lautze 2 di Bandung, Jawa Barat pada 1997.
“Ada kebutuhan untuk sebuah masjid yang mengakomodasi pertumbuhan jumlah Muslim Tionghoa-Indonesia di kota ini. Mereka merasa masih ada kesenjangan ketika melaksanakan sholat di masjid biasa. Orang-orang akan memandang mereka secara berbeda, meskipun mereka sudah menjadi bagian dari saudara Muslim,” kata pengurus Yayasan Masjid Lautze 2, Hernawan Mahfudz.
Untuk membuat mereka merasa lebih betah, anggota jamaah dianjurkan untuk saling menyapa dengan “koko” dan “cici,” kata dalam bahasa Mandarin untuk kakak dan adik.
Seperti halnya Masjid Lautze di Jakarta, Masjid Lautze 2 juga mempertahankan fasad bergaya China yang ditonjolkan oleh deretan lentera merah China. Lantai dasar berfungsi sebagai tempat sholat untuk 200 orang. Sedangkan lantai atas berfungsi sebagai tempat tidur bagi mualaf yang mungkin mengalami kesulitan akibat perpindahan agama mereka.