REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak dahulu kala. Pedagang pun adalah sebuah profesi yang mulia. Bahkan, Rasulullah Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi utusan Allah telah mencari nafkah dengan berdagang.
Islam dengan jelas membedakan antara jual-beli dan aktivitas riba. “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah: 275).
Meniru Nabi
Suku Quraisy, yang darinya Nabi Muhammad SAW berasal, dikenal sebagai kaum pedagang. Rasulullah SAW pun mewarisi bakat berbisnis dari pamannya yang juga seorang tokoh Quraisy, Abu Thalib. Saat berusia dewasa, reputasi beliau kian cemerlang di tengah masyarakat.
Bahkan sejak belum diangkat menjadi utusan Allah, Nabi Muhammad SAW dikenal luas sebagai orang yang tepercaya (al-Amin). Karakter mulia ini pun tampak saat dirinya bekerja sebagai pedagang.
Beliau adalah pebisnis yang tangguh, amanah, dan jujur. Beliau cermat dalam melihat segmentasi konsumen sehingga mampu “membaca” dengan tepat permintaan pasar.
Tidak pernah sekalipun menyembunyikan kualitas barang dagangannya. Tidak pula mengurangi takaran. Akhlaknya mesti ditiru, khususnya oleh mereka yang ingin sukses dalam berbisnis.
View this post on Instagram
Tidak menimbun
Dalam berbisnis, seorang Mukmin hendaknya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Ia tidak boleh berlaku zalim, semisal menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Penimbunan itu bertujuan menjual kembali komoditas tersebut ketika harganya naik. Alhasil, masyarakat umum dirugikan karena sikap tamak si penimbun.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan menimbun barang-barang kecuali orang yang berdosa (khathi’un)” (HR Muslim). Perkara itu jangan dianggap sepele. Allah menyebut Firaun, Hamman, dan bala tentaranya dengan sebutan yang sama.