Rabu 23 Aug 2023 09:43 WIB

Benteng Keraton Yogya yang Dulu Dihancurkan Bala Tentara Inggris Kini Berdiri Kembali

Sejarah Benteng Keraton Yogyakarta dengan Plengkung yang Dilengkapi Meriam Benteng.

Sisa bangunan Plengkung Madyasura atau Plengkung Buntet di Jalan Mantrigawen, Yogyakarta, Selasa (22/8/2023). Dahulu Plengkung Madyasura menjadi pintu gerbang utama menuju kediaman putra mahkota Keraton Yogyakarta. Namun, plengkung yang tinggal sisa-sisa ini rusak karena serbuan Inggris pada 1812 yang disebut Geger Sepehi. Gerbang ini sempat ditutup oleh Keraton Yogyakarta, oleh karena itu dikenal sebagai Plengkung Buntet. Meskipun ada pemugaran pada 1830an, tetapi bentuk asli plengkung tidak dikembalikan.
Foto:

 

Pojok Beteng Kulon

 

Saat ini sebagian besar Benteng Keraton Yogyakarta telah tertutup oleh permukiman warga. Tidak ada lagi jagang yang tersisa, kalaupun ada hanyalah selokan di sisi Pojok Beteng. Tidak diketahui dengan pasti kapan bangunan benteng dan jagang tertutup oleh pemukiman. Namun, ada dua peristiwa besar yang dapat dilihat sebagai acuan yakni gempa bumi pada 1867 dan pendudukan Jepang pada 1942-1945.

Gempa bumi pada 1867 membuat kerusakan cukup parah di Kota Yogyakarta. Banyak rumah rusak, termasuk rumah para Abdi Dalem. Didorong oleh rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) memperkenankan para Abdi Dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi-sisi benteng dan reruntuhan Tamansari sebagai tempat tinggal sementara. Rupanya kebijakan ini berlanjut terus sampai dengan keturunan-keturunan dari Abdi Dalem yang bersangkutan.

Hal yang sama terjadi pada masa pendudukan Kerajaan Jepang. Di mana-mana rakyat ketakutan dan mencari perlindungan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian memutuskan untuk menampung warga di sisi dalam dan sekitar benteng. Keadaan ini tetap dibiarkan, bahkan ketika masa pendudukan Kerajaan Jepang berakhir.

Dalam perkembangannya, pemukiman ini kemudian merusak benteng yang ada. Ditemukan bahwa ada pemilik rumah yang menempel di sisi benteng mengeruk dinding benteng untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi rumahnya. Ada juga mereka yang menjebol tembok benteng untuk menciptakan akses keluar masuk, yang mana hal ini membuat beberapa bagian benteng tidak lagi terlihat sisanya dan sepenuhnya tertutup oleh permukiman.

Dari lima buah Plengkung, hanya tersisa dua yang masih utuh berbentuk gerbang melengkung, yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan dan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing. Bangunan Tulak Bala yang masih utuh adalah Pojok Beteng Wetan (tenggara), Pojok Beteng Kulon (barat daya), dan Pojok Beteng Lor (barat laut). Sisa tembok benteng yang masih utuh hanya dari Plengkung Gading ke timur sampai dengan Pojok Beteng Wetan. Persis di sebelah timur Pojok Beteng Kulon, dibuka jalan lengkap dengan lampu pengatur lalu lintas sehingga pintu keluar masuk benteng bertambah.

Vinia mengatakan, wisatawan atau pengunjung yang saat ini berminat mengunjungi Keraton Yogyakarta, masih bisa menikmati bagian-bagian tembok pertahanan. Tiga Pojok Beteng yang tersisa terbuka untuk umum, dan dapat dikunjungi melalui tangga yang terdapat pada sisi dalam benteng.

Pintunya terbuka dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Begitu juga dengan Plengkung Nirbaya, wisatawan dapat naik ke atasnya melalui tangga di kiri kanan sisi dalam Plengkung. Dari situ, pengunjung bisa berjalan menyusuri benteng sampai dengan Pojok Beteng Wetan.

"Dari masa ke masa, Benteng Keraton telah menjadi saksi bisu bagi perkembangan Kota Yogyakarta. Secara fisik posisinya tidak pernah berubah, tetapi secara sosial ia melambangkan perubahan yang terjadi. Benteng yang awalnya menjadi pemisah tegas antara Keraton dengan dunia di sekelilingnya, kini terbuka bagi rakyat yang bernaung di dalamnya," ucap Vinia.

Baca kelanjutan tulisan di halaman berikutnya..

 

 

  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement