Rabu 07 Jun 2023 06:08 WIB

Selamatan dan Tahlilan untuk Orang Meninggal, Mengapa NU dan Muhammadiyah Berbeda?

NU dan Muhammadiyah mempunyai dalil masing-masing terkait selamatan

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Muslim saat melakukan ziarah kubur (ilustrasi). NU dan Muhammadiyah mempunyai dalil masing-masing terkait selamatan
Foto:

Sementara itu, kalangan yang selama ini kontra memang kerap menyalahkan amaliyah Aswaja yang dianut oleh NU. Salah satu yang paling sering mereka fitnah adalah tahlilan. Karena, menurut mereka, tahlilan tidak berdasarkan dalil, bahkan dianggap merujuk pada kitab Agama Hindu.

Padahal, Ibnu Taimiyah al-Harrani yang merupakan rujukan mereka juga membenarkan susunan ala tahlilan dan menganjurkannya, seperti beliau tulis dalam Majmu’ al-Fatawa-nya, juz 22, halaman 305-306.

Begitu juga dengan pendiri aliran Wahabi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi. Dia juga turut membenarkan sampainya pahala tahlilan yang dihadiahkan kepada mayit dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut halaman 75.

Dengan menggunakan beberapa dalil seperti di atas, NU pun menyepakati bahwa tahlilan atau selamatan untuk orang yang meninggal dunia boleh saja dilakukan. Selain itu, masih banyak dalil-dalil lainnya yang digunakan ulama NU untuk melaksanakan amaliyah tahlilan.

Sementara itu, Muhammadiyah memiliki pandangan tersendiri terkait hukum selamatan yang ditujukan kepada orang meninggal atau tahlilan. Menurut Muhammadiyah, mengadakan selamatan disertai dengan doa yang dipaketkan itu tidak ada tuntunannya dalam Islam.

Baca juga: Terpikat Islam Sejak Belia, Mualaf Adrianus: Jawaban Atas Keraguan Saya Selama Ini

Muhammadiyah memang tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil “La Ilaha Illallah”, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya. Namun, yang dilarang Muhammadiyah adalah melakukan ritual tahlilan.

Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang adalah upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau 40 hari atau 100 hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah SAW pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi SAW untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi SAW tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS Al Baqarah ayat 208.

 

 

DISCLAIMER: Perbedaan yang muncul dalam pengambilan dalil ibadah ini masih masuk ranah khilafiyah yang diperbolehkan dalam Islam, dengan berpegang pada hujjah masing-masing.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement