REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga sebab terpengaruh oleh tipu daya setan. Namun, adakah hikmah di balik peristiwa tersebut?
Peristiwa terusirnya Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga diabadikan dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 36. Allah berfirman, "Fa-azallahuma assyaithonu fa-akhrojahuma mimmaa kaana fihi wa qulna-hbithu ba'dhukum liba'dhin 'aduwwun walakum fil-ardhi mustaqarrun wa mataa'un ila hiin."
Yang artinya, "Maka keduanya digelincirkan oleh setan karenanya, maka keduanya dikeluarkan dari keadaan mereka berdua semula dan Kami berfirman, 'Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah menjelaskan surga merupakan kenikmatan yang abadi. Adapun dunia memiliki kenikmatan sementara. Apa yang dialami oleh Nabi Adam dan Siti Hawa merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam rangka menyukseskan tugas mereka sebagai khalifah di dunia.
Keberadaan surga di mana terpenuhi sandang, papan, pangan, adalah gambaran bagaimana seharusnya mereka memakmurkan bumi dan menyiapkan kebutuhan pokok itu. Tipu daya dan kebohongan setan dimaksudkan menjelaskan bagaimana licik dan lihainya musuh yang akan dihadapi sehingga diharapkan keterperdayaan kepadanya tidak terulang pada hari-hari mendatang.
Pengusiran manusia dari surga yang penuh kenikmatan itu, hendaknya mendorong manusia untuk berusaha kembali ke sana seperti cara yang ditunjukkan Allah. Uraian ayat tersebut, menurut Prof Quraish, juga bertujuan menanamkan rasa penyesalan dalam jiwa manusia sekaligus menunjukkan betapa setan merupakan musuh dan sumber petaka yang mereka alami.