REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Israel telah melarang kunjungan non-Muslim ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem hingga akhir Ramadhan. Langkah ini diambil menyusul kemarahan setelah pasukan keamanan Israel mengizinkan sekitar 800 pemukim untuk beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa pada Selasa (11/4/2023) pagi.
Hari itu merupakan hari keenam liburan Paskah, yang merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah berlangsung lama yang melarang kegiatan semacam itu selama 10 hari terakhir pada bulan suci umat Islam. Masih belum jelas apakah gerakan pemukim radikal Israel yang semakin kuat akan mematuhi kebijakan Al-Aqsa.
Salah satu pemimpin mereka, Menteri Kepolisian sayap kanan Itamar Ben-Gvir--seorang fanatik Yahudi Ultra Ortodok yang terkenal memiliki catatan kriminal karena mendukung teror dan menghasut rasialisme--mengecam larangan tersebut. "Ketika terorisme menyerang kita, kita harus menyerang balik dengan kekuatan besar, bukan menyerah pada keinginannya," katanya.
Sheikh Ekrima Said Sabri, mantan mufti agung Yerusalem dan Palestina serta pengkhotbah di Al-Aqsa, mengatakan kepada Arab News: "Israel ingin membuktikan bahwa merekalah yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Al-Aqsa dan kami melihat hal ini sebagai sebuah pelanggaran dan provokasi yang ekstrem."
Sementara itu, tidak ada jeda pada hari Selasa dalam kekerasan Israel di Tepi Barat yang diduduki. Tentara Israel kembali menewaskan dua warga Palestina dan melukai warga lainnya di desa Deir Al-Hatab, sebelah timur Nablus, dalam sebuah penyergapan di dekat permukiman Elon Moreh.
Sumber-sumber Palestina mengatakan bahwa dua orang yang tewas, Saud Al-Titi dan Mohammed Abu Dira, adalah mantan tahanan dan anggota Brigade Syuhada Al-Aqsa, sayap militer partai Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas.