REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, menyampaikan pandangannya soal isu resesi ekonomi yang akan terjadi pada tahun depan. Tahun 2023 disebut sebagai tahun yang suram bagi ekonomi global karena diperkirakan pertumbuhannya melambat.
Mu'ti menyampaikan, berbagai hal yang diperlukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya resesi ekonomi dan permasalahan sosial perlu dikuatkan. Terlebih menurutnya permasalahan sosial kini cenderung mengalami peningkatan.
"Apapun itu, menurut saya, kita perlu menguatkan berbagai hal atas kemungkinan resesi ekonomi atau berbagai masalah sosial, yang saat ini masih sangat banyak bahkan cenderung meningkat," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (7/11/2022).
Mu'ti mengatakan, dampak pandemi Covid-19 dan perang antara Ukraina dan Rusia memiliki dampak yang sangat luar biasa. Dampak ini rupanya tidak hanya pada aspek politik. Tetapi juga pada aspek ekonomi dan sosial kemanusiaan.
"Termasuk juga konflik-konflik politik di berbagai negara. Memang ternyata dampak yang paling terasa itu adalah dampak ekonomi. Kemungkinan 2023 ada resesi berarti harus kita siapkan sedemikian rupa, terutama dalam hal kebijakan-kebijakan ekonomi oleh pemerintah," tutur dia.
Mu'ti menilai skema populer yang selama ini dilakukan mungkin akan sangat berat dipenuhi pemerintah kalau ekonomi nasional tidak membaik. Dia berharap ekonomi Indonesia bisa semakin membaik dan tumbuh.
"Juga stabilitas politik agar bisa dijaga sehingga dampak resesi ini tidak meluas ke berbagai bidang yang dapat mengancam kehidupan terutama yang menyangkut keamanan dan persoalan kesejahteraan sosial," jelasnya.
Pemerintah mewaspadai risiko resesi ekonomi global pada tahun depan. Adapun tantangan yang perlu diwaspadai pada tahun depan antara lain ancaman akibat perubahan iklim, ketegangan geopolitik yang terus berlangsung, sehingga menyebabkan disrupsi pasokan global yang memicu lonjakan inflasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan lonjakan inflasi secara global memicu bank sentral di banyak negara mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga secara agresif, terutama negara maju. Hal ini juga akan menambah ketidakpastian khususnya di negara berkembang.
"Jadi ketidakpastiannya banyak, makanya disebutkan di tengah risiko bagaimana kita tetap mencapai ekonomi yang tetap kuat dan bertahan, padahal pola risikonya jadi lebih sulit diprediksi," ujarnya.