REPUBLIKA.CO.ID, Dalam tradisi sebagian masyarakat, bulan Safar kerap dikaitkan dengan kesialan, bencana, dan berbagai musibah. Tak sedikit yang menghindari pernikahan, bepergian jauh, atau memulai usaha pada bulan kedua dalam kalender Hijriyah ini, karena takut tertimpa malapetaka.
Namun benarkah anggapan tersebut sesuai dengan ajaran Islam? Rasulullah SAW justru dengan tegas menolak keyakinan tersebut dan meluruskan pemahaman yang keliru.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.”
Pernyataan Nabi Muhammad SAW ini membantah langsung keyakinan jahiliyah yang meyakini bahwa Safar adalah bulan penuh bala dan kesialan. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, bulan Safar dianggap waktu yang tidak baik untuk melakukan aktivitas penting.
Dalam sejarah Islam pun, tidak ditemukan adanya pelarangan khusus dalam melakukan aktivitas penting di bulan Safar. Justru, di bulan ini Nabi menikah dengan Sayyidah Khadijah dan menikahkan putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
