Selasa 24 May 2022 16:52 WIB

Terjadi Pergeseran Otoritas Keagamaan di Indonesia, Ini Penyebabnya

Massifnya media sosial berpengaruh pada pergeseran otoritas keagamaan

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi dakwah media sosial. Massifnya media sosial berpengaruh pada pergeseran otoritas keagamaan
Foto: pixabay
Ilustrasi dakwah media sosial. Massifnya media sosial berpengaruh pada pergeseran otoritas keagamaan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dua dekade terakhir, dakwah mengalami dinamika dan perkembangan yang berbeda dengan dekade sebelumnya.

Sekarang lebih masif dakwah menggunakan media sosial, sehingga menyebabkan ada pergeseran otoritas keagamaan dari otoritas lama ke otoritas baru. 

Baca Juga

Pengurus Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ai Fatimah Nur Fuad, menerangkan penyebab terjadinya pergeseran otoritas keagamaan di Indonesia.

Hal tersebut diterangkannya saat menjadi pembicara dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah dan 'Aisyiyah Ke-48 bertema "Dakwah Muhammadiyah di Tengah Populisme dan Evangelisme."

Dia menerangkan, otoritas lama sudah lama muncul dan berperan cukup signifikan dalam memberikan kontribusi untuk perkembangan wacana serta praktek keislaman di Tanah Air.

Otoritas lama ini memiliki akses dan penguasaan yang baik terhadap teks-teks keagamaan, metode, dan wawasan keagamaan. Mereka juga memiliki kemampuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman yang baik. 

"Mereka (otoritas lama) adalah para ulama yang ditempa dan terdidik dalam ilmu keagamaan melalui lembaga keagamaan formal. Sementara otoritas baru atau new religious authority, mereka adalah yang muncul belakangan seringkali kita sebut sebagai non ulama karena mayoritas tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang formal dan lebih banyak belajar mandiri," kata Ai saat menjadi pembicara utama dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah dan 'Aisyiyah Ke-48, Senin (23/5/2022). 

Menurutnya, pergeseran ini memunculkan tantangan baru bagi institusi keagamaan yang sudah mapan dan sudah lama berdiri dan berkontribusi seperti halnya Muhammadiyah.

Pergeseran ini sejalan dengan munculnya mobilisasi politik berbasis agama atau mobilisasi identitas agama yang sering disebut sebagai populisme. 

Di antara penyebab pergeseran otoritas keagamaan dari otoritas lama ke otoritas baru yang pertama adalah perkembangan yang sangat massif dan pesat dari media sosial sebagai alat atau sarana berdakwah. Pesan-pesan dakwah saat ini disebarkan dengan sangat masih melalui internet dan media sosial. 

"WA grup atau sosial media lain seperti Facebook, Instagram dan lain-lain itu lebih efektif untuk membentuk sikap dan pemikiran keagamaan ketimbang kajian yang dihadiri secara langsung seperti majelis taklim, pengajian, dan lain-lain," ujar Ai yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka. 

Dia mengatakan, ustadz atau ustadzah di media sosial lebih mudah diakses daripada kiai dan ulama yang ceramah secara tradisional, yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu masjid ke masjid lain, atau dari satu pertemuan ke pertemuan lain. 

Gaya dan metode dakwah tentu saja berubah di era media sosial. Kalau melihat kembali ke tahun 1980-an, kaset yang diputar di radio-radio itu menjadi media dakwah dengan pendengar yang sangat banyak. 

"Generasi muda saat ini lebih nyaman dan suka belajar agama dari ustaz atau ustadzah di sosial media," jelas Ai. 

Dia menjelaskan, penyebab kedua terjadinya pergeseran otoritas keagamaan adalah gerakan Islam transnasional. Ini adalah gerakan Islam yang bermunculan dan menarik antusias kalangan muda untuk bergabung. 

"Jadi banyak generasi muda kita lebih tertarik dengan isu-isu Islam di ranah global yang memiliki orientasi Islam internasional seperti isu global ummah dan lain-lain yang sering ditawarkan oleh gerakan Islam transnasional. Jadi isu-isu ini lebih menarik bagi generasi milenial sekarang ketimbang isu keislaman lokal atau nasional yang seringkali disajikan oleh Muhammadiyah," ujar Ai. 

Dia mengatakan, penyebab pergeseran otoritas keagamaan ketiga adalah demokratisasi di Indonesia. Muhammadiyah begitu juga 'Aisyiyah memiliki komitmen yang kuat untuk berpartisipasi dalam berdemokrasi dan komitmen untuk modernizing Islam through proses demokrasi. 

Tetapi sebaliknya, kata dia, gerakan Islam baru atau transnasional itu seringkali menolak demokrasi liberal karena dianggap tidak kompatibel dengan visi keislaman mereka, jadi walau banyak parpol baru namun dianggap tidak membuka partisipasi yang luas dan merata sehingga tetap meninggalkan banyak kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dianggap tidak memiliki background dan komitmen keislaman yang kuat.  

Dia mengatakan, dalam kondisi ini membuka ruang untuk mobilisasi agama yang sering dinamakan dengan populisme. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement