REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerbitkan surat edaran tentang pelaksanaan dan pengawasan siaran bagi lembaga penyiaran. Salah satu poin dalam edaran yang diterbitkan pada 15 Maret lalu ini, yang kini menjadi sorotan publik, yaitu tidak boleh menggunakan dai atau pendakwah dari organisasi terlarang.
Menurut Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mabroer MS, KPI tentu memiliki maksud yang baik demi kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan kelompok maupun golongan tertentu. "MUI sebagai salah satu mitra KPI tentu saja mendukung langkah yang ditempuh KPI karena lembaga penyiaran itu menggunakan ruang publik sehingga diperlukan rambu-rambu," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (23/3/2022).
MUI, lanjut Mabroer, posisinya bukan mengatur program siaran, tetapi ikut mengawasi program siaran, khususnya siaran di bulan Ramadhan. Salah satu maksud dari pemantauan itu untuk menjaga kekhusyukan ibadah di bulan suci tersebut agar semakin kuat keimanan umat Islam.
"Sedangkan yang terkait dengan otoritas kelembagaan dengan lembaga penyiaran itu KPI. Hanya saja, dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pemantauan acara TV di bulan Ramadhan ada kerja sama antara MUI dengan KPI sehingga diharapkan hasilnya bisa optimal," jelasnya.
Mabroer menambahkan, pengawasan dan pemantauan tersebut dilakukan di bulan Ramadhan karena merupakan bulan suci dan umat Islam sedang konsentrasi beribadah. Dengan demikian, diharapkan kegiatan di berbagai lembaga penyiaran bisa menempatkan diri dengan baik selama Ramadhan.
"Sedangkan tahapan pemantauan yang dilakukan MUI itu melalui beberapa tahap dan selalu melibatkan KPI serta lembaga lain. Agar hasilnya bisa maksimal dan komprehensif untuk peningkatan kualitas program siaran," tuturnya.
Sebelum pelaksanaan kegiatan pemantauan, ada kegiatan halaqah atau diskusi terbatas dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pimpinan lembaga penyiaran (TV dan Radio), KPI dan lembaga lain. Tujuannya menyamakan persepsi sehingga kualitas siaran pada Ramadhan terasa bedanya dengan bulan-bulan lainnya. Apalagi pemirsa program itu sangat beragam, baik dari sisi umur, pendidikan maupun yang lain.
"Halaqah ini diadakan sebelum Ramadhan dan untuk tahun 2022 sudah MUI lakukan pada 1 Maret lalu. Supaya para pihak terkait dengan program siaran tersebut memiliki waktu dan persiapan lebih memadai," ujarnya.
Dengan adanya kesamaan persepsi, masing-masing pihak memiliki panduan tentang etika dalam menyiarkan program acara. Pemantauan ini juga telah menggunakan standar baku seperti ayat-ayat Alquran maupun peraturan yang terkait, termasuk aspek 5W+1 H-nya.
"Dari halaqah itulah, dilanjutkan dengan kegiatan pemantauan acara di bulan Ramadhan. Kegiatan ini secara internal MUI juga melibatkan banyak ahli dari masing-masing Komisi/Badan/Lembaga MUI. Belum lagi pelibatan dengan pihak non-MUI seperti KPI, Kemenag dan Kemenpora. Dari hasil pemantauan inilah yang kita kirimkan ke KPI," jelasnya.
Mabroer melanjutkan, rangkaian berikutnya setelah pemantauan adalah Anugerah Siaran Ramadhan, yang menjadi puncak acara dari serangkaian kegiatan pemantauan. MUI merasakan manfaat hasil pemantauan tersebut.
"Ini bagian dari tanggung jawab moral MUI dalam melindungi kepentingan umat dari sajian program yang dianggap sudah melampaui batas, baik batasan moral maupun batasan syariat," imbuhnya.