Mengomentari insiden ini, seorang akademisi di University of Melbourne dan penulis The Political Psychology of the Veil, Sahar Ghumkhor, mengatakan hal yang harus diingat setiap orang adalah cadar/burqa selalu dipakai di Afghanistan, jauh sebelum Taliban ada.
“Protes tersebut seolah membuat pengenaannya (burqa) dengan menjadi ‘asing’, menghapus realitas wanita yang memakainya, terutama di bagian pedesaan Afghanistan,” ujar dia.
Dia menambahkan, kebanyakan wanita yang melakukan protes itu mengenakan pakaian barat. Ia pun mengatakan, jika masalahnya adalah keasingan dari sebuah pakaian, lalu mengapa perlawanannya bersifat selektif.
Warga Afghanistan WILFP setuju akan pernyataan tersebut. Burka telah menjadi bagian dari budaya Afghanistan untuk waktu yang lama, terutama di desa-desa dan daerah terpencil, bahkan di kota-kota di antara wanita yang lebih tua.
Ghumkhor mencatat pemakaian cadar maupun tidak merupakan bentuk reduksi lensa dan melampaui kondisi sosial, politik dan ekonomi yang kompleks sedang dibaca.
Terkait protes pengenaan cadar, ia menyebut kehadirannya yang berlebihan dalam imajinasi feminis Afghanistan perlu diinterogasi, terutama pada saat negara sedang 'kelaparan'.