REPUBLIKA.CO.ID, — Hidayah bisa menghampiri siapa saja, meski berada di lingkungan yang berbeda agama.
Hal itu diakui seorang mualaf, Yefta Marantika. Lelaki kelahiran Ambon, Maluku, itu memeluk Islam setelah menerima hidayah Illahi. Padahal, ia tumbuh besar di tengah lingkungan-dekat yang non-Muslim.
Pria yang kini berusia 47 tahun itu menuturkan kisahnya. Pertama-tama, latar keluarganya tidak bisa dikatakan jauh dari Islam. Memang, kedua orang tuanya beragama non-Islam. Mereka pun termasuk taat menjalankan ibadah agama itu.
Bagaimanapun, Yefta masih memiliki garis keturunan Muslim. Nenek dari ayahnya merupakan putri seorang kiai asal Jember, Jawa Timur. Bahkan, lanjutnya, nasabnya sampai pada Sunan Giri, salah satu Wali Songo. Adapun ibundanya mempunyai darah Arab. Keluarga besarnya itu dahulu tinggal di Tanah Abang, Jakarta.
Sewaktu Yefta masih anak-anak, kedua orang tuanya sempat menetap di Ibu Kota. Sebab, Jakarta saat itu menawarkan banyak peluang bagi seniman-seniman bertalenta.
Ya, keluarganya berkecimpung di dunia kesenian. Ia sendiri adalah keponakan dari seorang komponis dan penyanyi kondang, Simon Dominggus Pesulima atau yang akrab disapa Broery Marantika.
Baca juga : Kunjungi Grand Mosque Paris, Waketum DMI Dihadiahi Alquran Terjemahan Bahasa Prancis
Selama tinggal di Jakarta, keluarga ini berada di tengah komunitas Islam. Yefta kecil pun mulai terbiasa dengan rutinitas kaum Muslimin. Misalnya, kumandang azan tiap lima kali sehari atau semarak Ramadhan dalam sebulan tiap tahunnya. Di sekolahnya pun, ia berkawan dengan banyak orang Islam.
Mungkin karena pengaruh teman pula, Yefta semakin tertarik untuk mengenal Islam. Malahan, ia pernah meminta kepada ayah dan ibunya agar dirinya dikhitan. Sebab, kebanyakan kawannya sudah disunat. Saat Ramadhan tiba, ia pun turut serta dalam semarak bulan suci tersebut.
Momen-momen seperti ngabuburitatau malam takbiran membuat hatinya gembira bersama teman-teman.
Tentu, semasa anak-anak itu dirinya belum sampai kepikiran untuk berpindah agama.
Ia baru pada tahap senang membersamai kebiasaan orang-orang Islam, terutama kawan-kawannya sendiri. Inti ajaran Islam tak terlalu dipahaminya. Dan, belum muncul pula ketertarikan untuk mendalaminya.
Namun, segalanya berubah tatkala dirinya beranjak remaja. Ia mulai sering merenung tentang makna kehidupan. Dalam dirinya, timbul keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang begitu penting da lam hidup. Karena itu, seseorang harus menghayati betul ajaran agamanya.
Pada waktu itu, Yefta muda mulai berkenalan dengan seorang perempuan. Muslimah ini juga menjadi tempatnya berdiskusi tentang Islam. Kepadanya, ia sering bertanya tentang beberapa ajaran agama ini.
Baca juga : Masjid Sehitlik Saksi Sejarah Hubungan Diplomatik Jerman-Turki
Begitu pula dengan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW, sebagai sosok yang mula-mula menyebarkan risalah Islam kepada dunia.
Masuk Islam
Pada 1994, Yefta telah memantapkan hatinya. Ia pun melafalkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya. Proses berislam itu dilakukannya di hadapan imam dan sejumlah jamaah di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.