REPUBLIKA.CO.ID, Gerak cepat Nippon untuk merangkul pemimpin dan rakyat pribumi dipicu kondisi Perang Dunia II di Pasifik. Setidaknya, sejak Februari 1943, Sekutu kian sukses menghalau armada Jepang di sejumlah pulau strategis di Lautan Teduh. Dalam kondisi demikian, Tokyo tidak ingin Indonesiasebuah kawasan luas yang sangat kaya akan sumber daya alamlepas dari genggaman.
Untuk bertahan dari (upaya) gempuran Sekutu, perlu dukungan masyarakat tempatan. Maka, Nippon membuka komunikasi tidak hanya dengan tokohtokoh pemimpin nasional, tetapi juga agama.
Pada September 1943, pemerintah pendudukan menerima masukan dari sejumlah ulama, yakni KH Mas Mansur, Tuan Guru H Mansur, Tuan Guru H Jacob, H Moh Sadri, KH Adnan, Tuan Guru H Cholid, KH Junaidi, Dr H Karim Amrullah, H Abdul Majid, dan U Mukhtar.
Baca juga: 23 Adab Membaca Alquran yang Penting Dipraktikkan
Mereka meminta agar otoritas Nippon segera membentuk tentara sukarela, bukan semacam wajib militer, yang bertujuan mempertahankan Pulau Jawa. Pemerintah pendudukan menerima usulan ini.
Maka, pada 3 Oktober 1943, terbentuklah Pembela Tanah Air (Peta). Peta diisi kebanyakan oleh kaum Islam nasionalis. Para komandan batalion (daidan-cho) diambil dari kalangan ulama.
Bagaimanapun, Jepang tidak begitu saja mentransfer pengetahuan tentang kemampuan manajerial kepada mereka. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan menjadi senjata makan tuan, yakni sewaktu-waktu tebersit ide untuk memberontak terhadap Nippon.
Sebaliknya, tempaan yang total diberikan kepada para prajurit Peta. Mereka dibina dengan pelatihan militer yang profesional. Pembinanya didatangkan dari militer Jepang langsung.
Baca juga: 3 Keutamaan Membaca Alquran Setiap Kelipatan 10 Ayat
Beberapa bulan sesudah berdirinya Peta, timbul keinginan dari pihak pemerintah pendudukan untuk memobilisasi tenaga santri. Mereka hendak diarahkan untuk bergabung dengan Heiho. Berbeda dengan Peta, di Heiho, para pemuda Indonesia tidak pernah ada promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Beberapa penulis bahkan mengibaratkan Heiho layaknya pertahanan sipil (hansip).
Niat Jepang untuk memasukkan para santri ke dalam Heiho ditentang oleh tokoh kiai. Apalagi, pemerintah pendudukan kemudian mengutarakan maksud bahwa santri yang tergabung dalam Heiho nantinya akan dikirim ke Birma (Myanmar) dan pulau-pulau di Pasifik. Mereka akan diperbantukan di kamp-kamp militer Jepang di sana.
KH Abdul Wahid Hasyim, seorang tokoh Masyumi, menolak permintaan Jepang untuk mengirimkan para santri ke Heiho. Ada beberapa argumentasi yang disampaikannya.
Di antaranya bahwa bagi kaum santri, mempertahankan sejengkal tanah di dalam negeri akan lebih menggugah semangat daripada bertempur di luar negeri apa pun alasannya.
Selain itu, lanjut putra Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini, sebaiknya Nippon memanfaatkan para prajurit profesional, alih-alih kalangan santri yang justru boleh jadi akan merepotkan basis militer Jepang sendiri di tiap negeri taklukan.
Akhirnya, dia menyarankan pemerintah pendudukan untuk membentuk wadah baru agar dapat menampung kaum santri yang ingin menerima pelatihan militer. Adanya Peta dinilainya belum cukup karena kesatuan tersebut ditujukan untuk pemuda nasionalis, bukan kaum pesantren.