Rabu 28 Jul 2021 15:47 WIB

UU Separatisme Prancis dan Pengalaman Pilu 3 Muslimah

Muslimah akan semakin terdampak pemberlakuan UU Separatisme Prancis

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah
Muslimah akan semakin terdampak pemberlakuan UU Separatisme Prancis. Ilustrasi Muslimah
Foto:

Noura

Peneliti universitas dan ibu tiga anak ini berasal dari lingkungan kelas menengah di Paris. Pada 2019 ketika putranya berusia delapan tahun, dia menjadi sukarelawan dalam acara tamasya sekolah anaknya. Namun, keesokan harinya guru kelas meminta Noura untuk pergi dan membuat alasan tidak ada ruang baginya dalam bus.

Tak terima jawaban itu, Noura menanyakan alasan mengapa hanya dia yang diminta pergi. Lalu kepala sekolah datang dan mengatakan dia harus pergi karena prinsip negara Prancis adalah sekularisme.

“Karena saya tahu hukum tidak melarang saya berada di sana, saya meminta surat tertulis yang menjelaskan mengapa saya diminta pergi. Saat itulah kepala sekolah menelepon polisi. Dua petugas mulai menceramahi saya bahwa saya diminta pergi karena Prancis adalah negara sekuler,” kata Noura.

Noura merasa dipermalukan dan mulai menangis di depan semua orang. Dia memberi tahu kepada petugas dan kepala sekolah bahwa tindakan mereka termasuk rasialisme. Salah seorang orang tua murid meminta Noura untuk berhenti membuat keributan.

Bahkan dia memberikan topi yang bisa dipakai untuk menggantikan jilbab miliknya. “Orang tua murid itu meminta saya agar berhenti membuat anak-anak trauma lebih dalam dan untuk menenangkan situasi saya langsung memakai topi,” ucap dia.

Setelah hari itu, putra Noura tidak ingin pergi ke sekolah lagi. Terlebih, dia tidak bisa meyakinkan putranya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengajukan pengaduan resmi ke beberapa kelompok hak asasi manusia tapi mereka menolak membelanya.

“Dengan UU baru ini, saya sangat pesimis tentang masa depan di negara ini. Saya tidak lagi melihat masa depan di sini. Kami sangat tidak diinginkan dan kami memiliki luka psikologis yang serius dari kekerasan simbolik yang kami alami,” tuturnya.

Hiba Latrech

Dilansir The Guardian, Rabu (28/7), Hiba Latrech (22 tahun) merupakan Sekretaris Jenderal dan Wakil Presiden Femyso, Forum Organisasi Pemuda dan Mahasiswa Muslim Eropa dan seorang mahasiswa hukum dari Strasbourg. 

Dia dan beberapa wanita Muslim lainnya mendirikan kampanye "Jangan Sentuh Jilbab Saya" yang menjadi viral di media sosial. Kampanye itu mendapat dukungan dari wanita Muslim terkenal seperti atlet Olimpiade Ibtihaj Muhammad dan model kelahiran Somalia Rawdah Mohamed.

“Kami meluncurkan kampanye setelah senat menyetujui UU itu dengan harapan suara kami akan didengar. Di Prancis, kami sering diserang dalam tindakan rasial. Jadi, kami membutuhkan dukungan internasional,” kata Latrech.

Sebagai seorang Muslimah berjilbab di Prancis, dia sering mengalami serangan Islamofobia di publik. Dengan adanya UU baru, pemerintah justru membuatnya legal. UU baru akan membuat wanita Muslim hidup lebih sulit.

“Mereka bahkan mengajukan amandemen untuk menghentikan seorang wanita Muslim berjilbab mencalonkan diri. Kami hampir tidak dapat menemukan pekerjaan seperti itu dan sekarang mereka akan membatasi kumpulan pekerjaan yang dapat kami lakukan lebih jauh. Kami tidak hanya takut akan keselamatan kami sebagai individu tapi juga takut pada institusi kami,” jelas dia.

Satu-satunya cara untuk melawan ini adalah meminta dukungan internasional. Di Prancis, siapa pun yang membela hak Muslim akan diremehkan. Bahkan komisi pemerintah tentang laïcité atau sekularisme dibubarkan karena keberatan dengan cara laïcité digunakan. 

 

 

Sumber: thegurdian  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement