Senin 28 Jun 2021 19:11 WIB

Prof Haedar: Tak Elok Gaduh Politik di Saat Pandemi Covid-19

Prof Haedar Nashir mengajak elite-elite politik fokus darurat Covid-19

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, mengajak elite-elite politik fokus darurat Covid-19
Foto: Dokumen.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, mengajak elite-elite politik fokus darurat Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA –  Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengingatkan, jika tidak ditangani seksama dan optimal, sungguh sangat berat beban yang dialami rakyat. Terlebih, rakyat kecil yang masih menjadi mayoritas di Tanah Air ini.  

Kehidupan rakyat semakin susah. Ancaman jiwa dari virus ini sangat besar dan mematikan, tidak tahu kapan musibah berat ini berakhir. Dia menilai, beberapa tahun ke depan akan jadi hari-hari sulit dan berat bagi bangsa Indonesia.

Baca Juga

"Kita terus ikhtiar dan munajat kepada Tuhan agar mampu ke luar dari musibah yang sangat berat ini," kata Haedar, Senin (28/6).

Untuk itu, kepada elite-elite yang sedang kontroversi baik soal isu presiden tiga periode maupun isu-isu panas lain, alangkah bijaksana menghentikan kegaduhan. Dia meminta agar dihentikan isu itu dan biarlah menjadi bagian dari wacana sesaat. 

Alangkah elok bila dihentikan demi mencegah kedaruratan. Kasihani rakyat kecil yang menanggung beban berat akibat pandemi maupun kondisi kehidupan kebangsaan yang sarat beban. 

Dia menekankan, rakyat kecil hanya ingin mempertahankan diri. "Bisa bekerja serabutan dan mencari sesuap nasi saja betapa susah dan sangat tidak mudah. Mereka serba terbatas dalam segala hal, sehingga pandemi ini makin menambah beban hidup saudara-saudara kita yang rakyat kebanyakan itu," ujar Haedar.

Boleh jadi elite-elite yang terus berdebat soal-soal bangsa atau isu-isu panas itu tidak terganggu pandemi. Mereka sudah mapan dalam segala hal, bahkan berlebih, sehingga tidak ada beban dalam situasi yang bagi rakyat sungguh sangat berat. 

Jadi, mungkin memproduksi isu-isu kontroversial malah akan mendapat lebih banyak nilai tambah bagi elite-elite tersebut. Namun, dia mengingatkan, ada tanggung jawab etik dan sosial besar di tengah bangsa yang tengah menghadapi musibah besar. "Di sinilah kearifan para elite sangatlah diharapkan," kata Haedar.

Demokrasi yang sudah menjadi paradigma utama kehidupan kebangsaan di negeri ini memang membolehkan membincangkan isu-isu yang dianggap menyangkut hajat hidup bangsa. Bahkan, dianggap bertentangan konstitusi dan demokrasi bila ada larangan.

Tapi, demokrasi juga menuntut pertanggung jawaban moral dan sosial ketika bangsa dan negeri tengah menghadapi masalah lebih besar. Sebab, demokrasi bukan tujuan, tapi instrumen mencapai tujuan negara. Ada moral, etika dan tanggung jawab.

Semua kewajiban warga negara tegakkan keadilan, kebaikan, perdamaian, persatuan dan keutuhan bangsa. Bila yang dibincangkan dianggap mencegah keterbelahan politik, maka terbuka pula kemungkinan lewat isu-isu panas itu bangsa terbelah nyata.

"Politik Indonesia itu menuntut moral dan nilai hikmah kebijaksanaan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila, bukan sekadar politik nilai-guna dan asas kebebasan belaka," ujar Haedar.

Setelah reformasi, memang kehidupan kebangsaan dan kenegaraan sangat demokratis, bahkan demokrasi menjadi overproduksi. Namun perlu dicatat, demokrasi itu sarana dan bukan tujuan. Jangan demokrasi substansial terkalahkan demokrasi prosedural.

Lalu, siapa yang dapat menghentikan politik uang, transaksional, dinasti dan oligarki akibat demokrasi yang prosedural, liberal dan overproduktif. Kurang apa demokrasi, yang dalam prosesnya mengalami deviasi dan distorsi dari jiwa Pancasila dan konstitusi.

Kontroversi isu atas nama demokrasi juga harus diperhitungkan dampaknya. Boleh jadi karena sebagian warga mengonsumsi isu-isu kontroversi atas nama demokrasi, terbuka kemungkinan terbawa arus dan terlibat pro dan kontra sesama warga lain. 

Haedar merasa, kondisi gaduh dan kontroversi itu terlalu mahal bagi kepentingan bangsa dan negara. Terjadi mobilisasi masa yang berbeda sikap politik secara diametral, yang pertaruhannya tentu sangat mahal bagi keutuhan Indonesia.

"Akibatnya, rakyat yang sudah menderita akibat musibah pandemi makin menanggung beban berlipat oleh isu-isu kontroversial atas nama demokrasi," kata Haedar.

Untuk itu, dalam memahami dan menerapkan demokrasi seyogyanya elite-elite dan warga bangsa perlu berpijak nilai-nilai luhur kebangsaan. Sebagaimana sudah terkandung dalam Pancasila, konstitusi dan kepentingan negara yang lebih luas.

Menurut Haedar, pemahaman demokrasi harus substansial dan mendalam, bukan kepada pikiran verbal semata. Artinya, tidak sekadar bersandar ke paham demokrasi untuk demokrasi yang bersifat kegunaan, tapi kepada nilai-nilai dan kemaslahatannya.

"Apalagi, kalau niatnya keliru dan bergagasan demokratis yang ternyata tidak sejalan jiwa demokrasi, fondasi hidup bangsa dan kemaslahatan Indonesia ke depan," kata Haedar.

Bersikaplah moderat dan tidak radikal-ekstrim dalam memahami serta mempraktikkan demokrasi di Indonesia karena di landasan politik Indonesia ada nilai Pancasila. Letakkan demokrasi dengan segala perdebatan yang gaduh itu dalam konteks nilai.

Serta, kepentingan bangsa yang lebih luas. Terlebih, saat Indonesia sarat beban akibat pandemi dan masalah lain yang dampaknya membuat rakyat menderita. Dia mengajak cerdik pandai memanfaatkan ilmu untuk mencerdaskan dan mencerahkan.

Membawa kemaslahatan dalam kehidupan bangsa, negara dan semesta. Sebab, ilmu itu perlu etika dan bijaksana agar jadi suluh keadaban dan peradaban. Ia berharap, cerdik pandai memanfaatkan ilmu untuk kemaslahatan umum, mencegah dari kemudaratan.

"Maka, pemilik ilmu akan jadi pewaris para nabi yang mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada kehidupan yang bercahaya pencerahan. Ilmunya akan membawa dirinya ke surga," ujar Haedar, menutup.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement