Kamis 11 Feb 2021 15:08 WIB

Dari Kudeta Hingga Jalan Demokrasi Para Jenderal

Jalan terjal demokrasi bagi para jenderal.

Tentara Mynmar tengah berjaga.
Foto:

Demokrasi yang Merosot

Kudeta militer yang terjadi di Myanmar pekan lalu berlangsung hanya kurang dari seminggu setelah The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis data tentang merosotnya Indeks Demokrasi secara global sepanjang tahun 2020 lalu.

Menurut IEU, sepanjang tahun lalu, skor rata-rata Indeks Demokrasi secara global memang turun menjadi 5,37 (dalam skala 0-10) yang merupakan skor terburuk sejak indeks tersebut pertama kali disusun 14 tahun silam.

Dari 167 negara yang disurvei, 116 di antaranya (hampir 70 persen) mengalami penurunan skor. Hanya 38 negara (22,6 persen) yang skornya mengalami perbaikan, sementara 13 lainnya skornya stagnan. 

Ada 60 indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara. Enam puluh indikator itu dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Berdasarkan skor atas indikator-indikator tadi, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara yang disurvei ke dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh (full democracies), demokrasi cacat (flawed democracies), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoriter (authoritarian regimes).

Menurut parameter yang disusun IEU, hampir separuh dari populasi dunia (49,4 persen) hidup di tengah sistem demokrasi dan lebih dari sepertiga populasi hidup di bawah pemerintahan otoriter.

Sesuai dengan indikator kemerosotan skor demokrasi secara global, jumlah negara yang masuk kategori rezim otoriter sepanjang tahun kemarin memang mengalami peningkatan, dari semula 54 (2019) menjadi 57.

Sebenarnya, tren global dalam hal kemunduran demokrasi sudah bisa dibaca sejak beberapa tahun sebelumnya. Naiknya tokoh-tokoh iliberal, seperti Donald Trump di Amerika Serikat serta kecenderungan publik di berbagai wilayah untuk menerima kembali kendali militer dan aparat keamanan yang lebih kuat di sejumlah negara merupakan penandanya.

Mengutip The Washington Post, pada tahun 2017 sebuah jajak pendapat di Brasil menunjukkan bahwa 43 persen responden mendukung kebangkitan kembali militer. Sementara, di Filipina, sebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan, 80 persen masyarakat menyetujui penggunaan kekerasan yang agresif dalam perang melawan narkoba yang dikampanyekan Presiden Duterte.

Di Indonesia sendiri, menurut riset Asian Barometer pada tahun 2016, 38 persen orang Indonesia yang disurvei menyatakan “sangat setuju” atau “setuju” bahwa “Angkatan Darat harus datang untuk mengatur negara”. Persentase ini adalah tertinggi kedua setelah Thailand (54 persen).

Ekspose atas tokoh-tokoh semacam itu dengan pendekatan kekuatan represif yang menyertainya, telah memberikan efek demonstratif berupa melemahnya norma-norma mengenai kontrol sipil secara global. 

Munculnya pandemi Covid-19 yang kemudian telah melahirkan pembatasan sosial secara global telah berimplikasi pada kian mundurnya praktik demokrasi di mana-mana. Di sisi lain, karena pandemi ini juga diperlakukan sebagai isu keamanan maka penanganannya juga telah memberikan potensi lebih lanjut terhadap terbukanya peran militer yang kian luas di wilayah-wilayah sipil.

Pada masa Orde Baru militer Indonesia juga pernah memiliki peran yang luas dalam urusan politik dan ekonomi, seperti yang kini masih kita lihat di Myanmar dan Thailand. Namun, sesudah Soeharto lengser dan mereformasi sistem ketatanegaraan, kita sudah berhasil memindahkan militer kembali ke peran tradisionalnya.

Ketika Jenderal SBY menjadi Presiden Republik Indonesia, ia dikenal sangat egaliter dan tertarik pada isu-isu global serta perdamaian. Hal ini telah ikut membantu mengubah citra militer Indonesia yang pada masa sebelumnya dikenal cenderung inward looking.

Catatan tentang pentingnya supremasi sipil, hidupnya masyarakat sipil, serta terjaminnya kebebasan masyarakat sipil, penting untuk terus-menerus disampaikan di tengah-tengah kemerosotan demokrasi secara global yang kini tengah terjadi.

Meminjam Robert Dahl (1989), demokrasi memang membutuhkan dua syarat. Pertama, angkatan bersenjata tunduk pada kontrol sipil. Dan kedua, warga sipil yang mengontrol militer dan polisi juga harus tunduk pada proses demokrasi. Artinya, demokrasi mustahil bisa ditegakkan oleh nilai-nilai atau aktor-aktor yang anti-demokrasi.

Saya kira, dunia sekarang ini sudah cukup berat menanggung pandemi Covid-19, jangan sampai otoritarianisme dan “virus kudeta para jenderal” juga ikut-ikutan menjadi pandemi.

Diktumnya jelas. Kalau ingin berkuasa, maka Anda harus berjuang melalui partai. Jika Anda belum punya partai, dirikanlah partai, atau masuklah ke dalam partai yang sudah ada melalui cara-cara demokratis. 

Begitulah cara kontestasi di alam demokrasi, Jenderal!

 

 

Jakarta, 10 Februari 2021

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement